“Jatuh gimana?” tanya saya sampai menunda untuk memasang helm.
“Ya, jatuh tiba-tiba. Kalo penumpangnya selamat untung. Kalo ikut celaka piye?” kata Si Bapak Ojek yang belum saya kenal seperti menghasut.
Saya mengangguk-angguk. Dan iseng saya juga bertanya pada Si Bapak Ojek yang belum saya kenal.
“Pak De pernah liat kalo Sulis jatuh?”
“Yo, ora,” dia mengatakan tidak. Pak De meneruskan, “Saya sih sering denger-denger.”
“Denger dari siapa, Pak?”
“Ya, dari orang-orang. Makanya dia nggak ngojek hari ini mungkin kemarin kumat lagi,"
Saya berpikir. Pak De yang membawa saya mengatakan dengan kata-kata penuh provokatif kalau Sulis tidak ngojek karena ayannya kumat. Ini mungkin intrik bisnis. Semacam persaingan tidak sehat. Hari itu juga saya mengingat-ngingat motor ojek Si Bapak Ojek yang tidak saya kenal ini. Saya tidak akan naik motor ini lagi, pikir saya.
Tapi sejak Si Bapak Ojek yang tidak saya kenal itu bercerita tentang Sulis ada juga kekhawatiran saya. Bagaimana kalau tiba-tiba saya jatuh saat berboncengan dengan Sulis? Atau tabrakan? Tapi saya mencoba mengatasinya dengan pasrah. Saya selalu mengingatkan Sulis untuk tidak ngebut. Dengan begitu, kalau pun jatuh atau tabrakan saat Sulis "kumat", kecelakaannya tentu tidak terlalu parah. Begitulah saya mencoba menenangkan diri. Lagi pula, penyakit ayan atau epilepsi, juga diderita bukan saja Sulis. Penulis sekaliber Moliere, Edgar Allan Poe, Charles Dickens, bahkan Leo Tolstoy pun konon menderita penyakit yang dalam bahasa Yunani berarti "serangan" (epilepsia) ini. Jadi untuk apa saya takut berboncengan dengan Sulis.
Pada minggu lain ketika saya kembali sampai di Jogja, saya juga tidak menemukan Sulis. Saya naik motor yang lain. Saya bertanya ke mana Sulis pada Jaini, orang berikutnya setelah Sulis yang biasa saya tumpangi. Ketika saya konfirmasi, benar Mas Sulis itu sakit? Dan sumpah saya tidak berani menyebutkan “ayan” di belakang kata sakit.
“Ya, mungkin. Saya kurang tau ya, mas.”