INSPIRASI DARI MARISSA HAQUE
Oleh : Jon Hardi
Awal mula, ketika mendengar kabar wafatnya Marissa Grace Haque ("Marissa") pada Rabu pagi, Penulis menganggap "biasa-biasa saja", kalau tidak bisa dibilang "sepi". Malah di salah satu grup Whatsapp yang Penulis ikuti, ada yang menanggapinya dengan seloroh. Ya, waktu itu bagi Penulis, maaf, berita kematian adalah hal yang lumrah. Tidak obahnya berita kematian tokoh, artis, atau olahragawan lainnya. Faktor pertama, bukankah Allah sudah menjamin bahwa setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati? Â Faktor kedua, Penulis tidak kenal dekat, tidak pernah bertemu, berteman ataupun bertetangga dengan mereka. Faktor kedua, kita tidak boleh mengidolakan atau mencintai orang melebihi cinta kita kepada Allah dan Rasulullah SAW.
Terus terang, dulu, walaupun sedang ngetop-ngetopnya, Marissa bukanlah idola Penulis. Mungkin karena waktu dia ngetop, selera Penulis bukanlah jenis-jenis film yang sejenis dengan yang dibintanginya. Pertama, bagi Penulis film Indonesia bukan pilihan pertama jika ingin nonton, karena imej film Indonesia baru sekedar "cerita bergambar". Â Penulis masih lebih gandrung dengan film action Mandarin (dibintangi Jacky Chan, Jet Li), atau film Hollywood (dibintangi Stallone, Arnold Scharzeneger, Clint Eastmood, Bruce Willis, Chuck Norris, Van Damme). Kalau toh ada film Indonesia yang Penulis sukai, ya, paling banter film yang dibintangi Warkop DKI atau Benjamin S.
Namun setelah mengikuti cerita-cerita orang yang mengenalnya, plus memutar kanal media social tentang Marissa, Penulis tersentak. Ada rasa haru, kagum, sekaligus respek. Ternyata Marissa yang sekarang bukanlah tokoh kaleng-kaleng. Dia jauh melebihi apa yang Penulis bayangkan. Penulis merasa Marissa pantas menjadi inspirasi.
Memilih Jalan Sepi
Berita atau postingan tentang Marissa selama ini, sama halnya dengan tagline Isuzu Panther: "nyaris tak terdengar". Meskipun terbilang artis yang sukses (membintangi 27 film, dan memenangkan Piala Citra), akhir-akhir ini berita tentang Marissa tenggelam oleh berita-berita kacangan tentang artis lain, yang tak jauh dari kemelut rumah tangga, hate speech, pamer harta, pamer anak atau cuitan-cuitan yang tidak berkelas, meskipun diakui postingan semacam itulah yang digemari publik. Marissa lebih memilih interview atau talkshow bernuansa ilmiah, kekeluargaan atau agama yang kurang peminat.
Marissa juga bisa dibilang sukses dalam karir politik, Â karena pernah menjadi anggota DPR dan pengurus partai politik, namun pemberitaan tentang Marissa juga tenggelam oleh politisi lain yang berkutat dengan kasus korupsi, perselingkuhan, blusukan cari muka, bergaya badut penjilat, adu taktik busuk, atau wawancara dan postingan yang jauh dari perilaku keteladanan sebagai negawaran. Marissa terluput di balik artis-artis yang belok arah jadi politisi, seperti Deasy Ratnasari, Angelina Sondakh, Eko Patrio, Kris Dayanti, Venna Melinda, dan Komeng. Marissa lebih memilih menjadi tokoh di belakang layer menyiapkan kader-kader muda partai untuk menjadi politisi yang idealis.
Marisa harus diakui sukses dalam bidang akademis, dengan gelar akademis seabrek (kalau menulis nama dan gelar lengkapnya, seperti istilah orang Minang, "sepanjang tali beruk", yaitu Ass. Prof. Dr. Marissa Grace Haque,S.H., M.H.,M.Hum.,M.Si. Namun, lagi-lagi Marissa berada di kesunyian. Namanya tenggelam oleh akademisi yang wara wiri di media massa dan media social lantaran sibuk mengkritisi pemerintah (seperti Rocky Gerung, Refly Harun, Alm. Faisal Basri, dan Alm. Rizal Ramli) atau akademisi pembela pemerintah (Ade Armando), maupun akademisi sebagai pengamat (Effendi Ghozali, Margarito Kamis, Adi Prayitno). Padahal akademisi lain tersebut, jumlah gelarnya "belum apa-apa" dibandingkan gelar Marissa. Marissa lebih memilih forum-forum diskusi, kuliah umum, dan membimbing mahasiswa, yang tentunya kurang benilai sensasi.
Marissa termasuk segelintir kecil artis yang masuk kategori "artis yang punya otak", yaitu artis yang juga bergelut di bidang akademis, namun ekspose tentang Marissa tidaklah seramai Deasy Ratnasari, atau Maudi Ayunda. Padahal, lagi-lagi, kualitas Deasy dan Maudi juga tidak sementereng Marissa.
Sisi yang paling menarik adalah Marissa sukses dalam keluarga. Seabrek kemasyhuran yang dimiliki tidak membuat Marissa lupa menginjak bumi. Dia tetap menomorsatukan keluarga.Â
Menjalani keidupan bersama selama 38 tahun dengan Ikang Fawzi, dikaruinia 2 orang putri, tidak pernah terdengar gonjang-ganjing atau berita miring tentang keluarga mereka. Mereka selalu terlihat kompak, harmonis, meskipun dengan karekter yang berbeda. Ikang Fawzi dengan sifat easy going, sering ngomong sekenanya, berlawanan dengan Marissa yang seriusan. Bagi Marissa, keluarga adalah kesatuan yang sakral yang sangat penting dilindungi kehormatannya.Â
Kata Marissa, kalau keluarganya diganggu, maka dia akan menggigit dengan sedikit rabies. Sumber kebahagiaan dan kelanggengan keluarga mereka, adalah karena mereka selalu bersandar kepada ajaran agama (Islam) dan kesadaran sama-sama beruntung punya pasangan yang saling melengkapi.Â
Boleh dibilang, pasangan Ikang-Marissa menjadi salah satu pasangan artis legend yang langka, hanya bisa dibandingkan Sophan Sopiaan-Widyawati, Muchsin-Titik Sandora, Dicky Zulkarnain-Mieke Wijaya, dan Frans Tumbuan-Rima Melati. Anehnya, sepeti para seniornya, Ikang-Marissa tidak menjadikan keluarganya sebagai komoditas yang layak "dijual" dan menghasilkan banyak cuan.Â
Berbeda dengan  keluarga pasangan artis-artis muda yang sering viral di media massa dan di media sosial dengan follower akun mencapai jutaan orang.. Ikang-Marissa tidak membesut anak-anaknya menjadi artis mengikuti jejak orang tua, meskipun Ikang-Marissa bisa melakukannya.Â
Anak-anak mereka dibiarkan berkarir menurut kesukaan masing-masing. Bagi Ikang-Marissa keluarga adalah Amanah Tuhan yang harus dijaga keutuhannya sekuat mungkin.
Inspirasi Dari Marissa
Kenapa penulis menganggap Marissa layak menjadi sumber inspirasi?Â
Tentu tidak lain dan tidak bukan karena Marissa berhasil melakukan metamorfosa dengan sempurna. Di masa-masa awal karir Marissa sebagai bintang film, aroma perfilman Indonesia tidak bisa dilepaskan dari stereotip bintang film "sekwilda" (sekitar wilayah dada) dan "bupati" (buka paha tinggi-tinggi). Bahkan ada yang sampai dijuluki "bintang panas".Â
Mungkin karena factor itulah, Penulis saat itu merasa "belum cukup umur" untuk menontonnya. Penulis tidak mengetahui, dan juga tidak elok untuk mencari tahu, apakah Marissa berada dalam lingkaran itu atau tidak.
Tapi yang jelas Marissa (plus suaminya, Ikang Fawzi) punya obsesi tersendiri untuk lebih mengedepankan "otak" ketimbang sekedar pamer tampang doang. Jadilah Marissa menekuni kuliah dan menamatkan Sarjana Hukumnya, lalu berlanjut ke jenjang S2 (menggondol beberapa gelar S2) dan S3.Â
Zaman itu, artis yang menjadi sarjana, walaupun selevel S1, saja masih barang langka. Kalau ada maka mereka masuk kategori artis yang dikagumi, imej mereka naik, meskipun tidak meningkatkan nilai jual keartisannya. Hanya sebagian kecil artis seangkatan Marissa yang menembus level sarjana, di antaranya Harvey Malaiholo dan Purwa Caraka.
Marissa mampu berputar 180 derajat. Yang bikin kita kagum adalah Marissa bisa memadukan 4 bidang sukses sekaligus: sukses karir artis, sukses akademis, sukses keluarga dan sukses agama. Sukses agama? Ya, karena Marissa menjadikan semua yang dimilikinya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.Â
Marissa menjadikan tenaga, ilmu dan rezkinya sebagai ladang dakwah. Untuk memperkuat Langkah dakwahnya, Marissa juga mendirikan Perusahaan perfilman yang lebih fokus pada pembuatan film dokumenter dakwah.Â
Untuk berdakwah ini Marissa tidak memilih bercuap-cuap layaknya seorang ustazah (dakwah bilisan), tapi lebih memilih menampilkan karya dan perilaku (dakwah bilhal) dengan menjadi penggiat bisnis halal, bisnis syariah dan menjadi role model sebagai artis, politisi, akademisi, dan ibu rumah tangga yang agamis.
Kecerdasan utama Marissa adalah, ternyata dia sudah mempersiapkan dirinya untuk menerima datangnya kematian. Sesuai Hadist Rasulullah Muhammad SAW, bahwa orang yang cerdas adalah yang selalu mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuk kehidupan setelah kematian. Lengkap sudah kesempurnaan seorang Marissa.
Kesempurnaan Marissa menimbulkan risiko "tidak ngetop", karena publik tidak punya ruang tembak terhadapnya, yang bisa digoreng menjadi issu hangat sebagai bahan gunjingan. Dia berjalan di garis lurus dengan mengedepankan aspek transedental.Â
Jadilah Marissa kesepian di tengah keramaian. Tapi pada hakekatnya Marissa justru ramai dalam kesepian, karena Marisa benar-benar menghayati perannya sebagai akademisi murni, politisi yang santun, artis dan produser yang mendidik, ibu rumah tangga panutan, plus pengamalan ajaran agama Islam yang kental.Â
Ya, Marissa mungkin sepi di hiruk pikuk duniawi, tapi kita yakin Marissa merupakan salah satu hamba Allah yang dibangga-banggakan oleh Allah kepada para Malaikat-Nya. Wanita sholehah, penebar kebaikan, insyaallah husnul khotimah dan dirindukan surga.
Bandung, Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H