Seorang capres, yang ketika diragukan keislamannya, buru-buru naik hajji, dan di depan namanya harus ditulis Hajji (H) atau Hajjah (Hj). Waktu kampanye, para juru kampanye suka mengutip ayat-ayat Al Quran, spanduk dan baliho memuat tulisan Al Quran. Cara seperti ini pernah disindir oleh Da'I Sejuta Umat K.H. Zainuddin M.Z.: "saat kampanye rajin baca ayat kursi, setelah dapat kursi lupa dengan ayat".Â
Apakah para capres sekarang melakukan pola ini? Berdasarkan pengamatan Penulis, pola ini tidak nampak pada PS, GP dan ARB. Kalaupun memakai atribut Islam pada momen khusus hari besar Islam, bertemu organisasi Islam/pemuka agama, kegiatan ibadah, sah-sah saja mereka memakai atribut Islam. Yang kelihatan berubah adalah PM, yang sehari-hari "tidak berjilbab", tiba-tiba tampil berjilbab walaupun dalam momen biasa. Penampilan tiba-tiba Islami juga pernah ditunjukkan oleh Pak Jokowi-Bu Iriana waktu pencapresan pertama tahun 2014. Bahkan Ahok dan Hary Tanoesudibyo, yang notabene non Muslim juga pernah melakukannya. Â
Apakah tindakan ini berbahaya? Menurut Penulis, tidaklah berbahaya, tapi masuk kategori "siasat" yang bisa mempengaruhi (baca: mengelabui) persepsi publik.
Politisasi Agama, Agama Sebagai Tujuan
Dalam kategori ini capres akan memperjuangkan agamanya dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara jika menang nanti. Apakah pola ini berbahaya?
Bukankan sejarah mencatat, banyak pemimpin negara yang sangat getol memperjuangkan agamanya menjadi sumber aturan negara?. Mulai dari kekaisaran Romawi yang memperjuangkan Katolik, raja/ratu Inggris menjadi Pembina Gereja Anglikan, pemimpin India mati-matian membela Hindu, raja-raja di jazirah Arab menerapkan syariat Islam. Raja Qatar memanfaatkan momen Piala Dunia 2022 untuk mempromosikan Islam. Bahkan mantan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush sangat getol memperjuangkan Kristen, sampai-sampai menyebut "Perang Salib" saat menyatakan perang terhadap Osama bin Laden dan Al Qaeda-nya.
Di Indonesia, adanya perlawanan dari Teuku Umar, Pangeran Diponegoro terhadap Belanda bukan hanya karena ingin mengusir penjajah, tapi juga sebagai bentuk perlawanan atas nama agama, karena penjajah juga membawa misi agama. Bung Karno pernah berujar, jika umat Islam ingin memperjuangkan Islam, berjuanglah melalui parlemen. Gus Dur pernah berujar, Indonesia tidak akan menjalankan hukum Islam, tapi membuat hukum positif Indonesa dengan mengadopsi hukum Islam. Gubernur Bali, sebagai penganut Hindu, wajar saja menerapkan ajaran Hindu dalam mengatur Bali, yang penduduknya mayoritas Hindu. Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) merasa perlu menerapkan ajaran Katolik dalam mengatur daerahnya yang mayoritas Katolik.
Jadi, politisasi agama dengan menjadikan agama sebagai tujuan, menurut Penulis, adalah wajar, karena masing-masing agama mengajarkan pemeluknya untuk "berjihad" memperjuangkan agamanya melalui kekuasaan. Apalagi terhadap agama mayoritas penduduknya. Sepanjang dilakukan secara konstitusinal dan tetap melindungi kelompok minoritas, berada dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia, semangat kebhinnekaan, Â ruh Pancasila dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Bukankah para pendiri negara (founding father) kita juga memperjuangkan agamanya masing-masing, yang hasilnya tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila? Bukankah lahirnya Undang-Undang (UU) Perkawinan, UU Zakat, penerapan ekonomi syariah, adanya daerah otonomi Nanggro Aceh Darussalam berbasis Islam dan Daerah Otonomi Papua berbasis Kristen adalah hasil politisasi agama yang menjadikan agama sebagai tujuan?
Apakah PS, GP, PM dan ARB terindikasi melakukan politisasi agama dengan menjadikan agama sebagai tujuan?
Sejauh pengamatan Penulis, baik PS, GP, PM, maupun ARB tidak melakukannya. Mereka lebih menampakkan ajaran agama sebagai ranah pribadi. Seperti kata Ustad Abdul Somad, bisa jadi seorang pemimpin itu rajin shalat, baik shalat wajib maupun tahajjud, rajin puasa sunah, rajin bersedekah. Kalau hanya amalan seperti itu, bukan hanya Pemimpin, rakyat pun orang bisa.
GP dan PM sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), selama ini berusaha sejalan dengan garis partai, mengusung jati diri nasionalis sejati. Sewaktu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak terdengar langkah mereka mengusung Rancangan Undang-Undang (RUU) yang memperjuangkan syariat Islam. Masih segar dalam ingatan kita PDIP melakukan walk out saat pembahasan RUU yang menghargai syariat Islam, seperti RUU anti pornografi dan pornoaksi. Selama PM menjadi Ketua DPR pun tidak terdengar DPR menginisiasi RUU bernuansa Islam.