Mohon tunggu...
Jon Hardi
Jon Hardi Mohon Tunggu... Pengacara - ADVOKAT

Alumnus Fak. Hukum Univ. Andalas Padang lulus 1990.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Upaya Menjadi Advokat Putih

22 November 2022   09:18 Diperbarui: 22 November 2022   09:25 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penulis sangat tertarik dengan sebuah artikel berjudul "Advokat Hitam", yang dimuat Kompasiana tanggal 1 Nopember 2022 yang lalu. Artikel tersebut ditulis oleh Sdr. Suryadi Kusna Putra,S.H., seorang Advokat. Saya, Penulis, yang juga berprofesi sebagai Advokat, punya perasaan campur aduk setelah membaca tulisan tersebut.

Perasaan pertama, bisa memaklumi. Karena sehebat dan semulia apapun profesi, semaksimal apapun pemegang profesi berbuat untuk kemuliaan profesinya, tetap ada saja satu atau dua orang yang menyimpang (biasanya disebut "oknum"). Jangankan level advokat, hakim, polisi, jaksa, dan notaris yang bergerak di bidang hukum, di tataran para pengendali negara pun oknum ini bisa ditemukan. Mulai dari Menteri, anggota DPR, anggota DPA, gubernur, walikota/bupati, sampai camat dan kepala desa, tanpa terkecuali, oknum ini pernah eksis. Demikian juga professional lain, seperti dokter, akuntan. Hanya saja, berapa prosentasenya yang pasti, tidak bisa diketahui. Selama ini kita hanya berpatokan kepada person yang sudah diputuskan bersalah oleh pengadilan atau oleh majelis kehormatan/kode etik profesi. Sementara itu yang dirasakan oleh masyarakat, "mungkin" jumlahnya lebih banyak. Sehingga ada pameo, oknum itu sebenarnya banyak, tapi luput dari penangkapan. Yang tertangkap itu adalah oknum yang "sial". Wallaahu a'lam.

Perasaan kedua, miris. Betapa mudahnya oknum, yang saat diangkat mengucapkan sumpah atas nama Tuhan, dengan mudahnya "menipu" Tuhan. Sama Tuhan saja urat takutnya sudah putus, apalagi terhadap klien yang dianggapnya lebih lemah dan bodoh. Terhadap negara dia sampai hati menelikung, padahal negara yang sudah bertahun-tahun mendidiknya agar menjadi warga negara yang baik, bermoralkan Pancasila. Terhadap keluarga, yang menjadikannya tempat bergantung dan menitipkan kebahagiaan dunia-akhirat, dan menjadikannya sebagai panutan, dia rela mengelabui. Anehnya Sang Oknum masih dengan bangganya memproklamirkan advokat sebagai profesi mulia (officium noblie).  

Perasaan ketiga, introspeksi diri, apakah Penulis masuk kategori oknum advokat hitam, atau setidak-tidaknya pernah menjurus ke kategori ini? Kalau betul, bagaimana caranya menjadi advokat putih, atau sekurang-kurangnya tidak masuk kategori oknum advokat hitam?.

Beberapa Penyebab

Banyak factor yang menyebabkan seseorang menjadi oknum advokat hitam, tapi di sini Penulis hanya bisa menginventarisasi sebagian saja.

Penyebab pertama, dari pribadi masing-masing, misalnya sudah punya bibit sifat pembohong, serakah, curang. Adalah sangat wajar, jika advokat berupaya sekuat tenaga untuk memenangkan kliennya, karena memang begitulah keinginan klien dan advokat. Dengan memenagkan perkara, peluang advokat untuk mendapatkan success fee menjadi terbuka lebar, dan reputasi meningkat. Sebagai catatan, biasanya advokat mendapatkan 2(dua) macam imbalan dari klien, yaitu biaya operasional (biasanya disebut lawyer fee) dan bonus (upah tambahan) jika memenangkan klien (biasanya disebut success fee). Lawyer fee (biasanya) habis untuk mengurusi perkara, seperti biaya transportasi, akomodasi, administrasi dan koordinasi. Nah, success fee itulah yang menjadi "penghasilan" sebenarnya bagi advokat. Makin besar tingkat kesuksesan memenangkan klien, maka makin besarlah success fee yang diterima advokat (karena success fee biasanya dihitung berdasarkan prosentase). Maka makin cerahlah kehidupan advokat. Semakin cerah kehidupan advokat, dia makin bisa "bergaya", dan berdampak pada meningkatnya "harga" advokat terhadap klien baru. Demikian seterusnya, bergulung bagaikan bola salju. Menikmati success fee seperti minum air laut, semakin banyak semakin tidak puas. Faktor inilah yang mendorong advokat melakukan berbagai cara untuk memenangkan klien.

Penyebab kedua, kondisi lingkungan. Tidak ada asap kalau tidak ada api. Gayung bersambut. Itulah perumpamaan yang rada tepat untuk mengilustrasi situasi yang terjadi. Advokat hitam, karena dia berada di kolam yang hitam, dia bertemu dengan partnernya (advokat lawan, polisi, jaksa, hakim) yang juga hitam. Dalam menangani klien perkara perdata, si oknum advokat hitam bertemu dengan pengacara lawan yang juga "sejenis" dengan oknum advokat hitam. Maka terjadilah negosiasi liar sesama oknum advokat hitam, yang ujung-ujungnya merugikan para klien mereka. Kalau pengacara lawan ternyata bukan advokat hitam, maka dia akan bertemu dengan oknum panitera hitam dan/atau oknum hakim hitam. Maka dia dimenangkan dengan cara hitam.

Dalam menangani klien yang menjadi terlapor atas dugaan tindak pidana pidana, urusan si oknum advokat hitam akan lancar jika bertemu dengan oknum polisi hitam. Maka, dengan deal-deal khusus, oknum polisi hitam akan "memenangkan" klien oknum advokat hitam. Misalnya dengan mengulur-ulur penanganan perkara, atau menolak perkara dengan berbagai alasan, atau mengalihkan perkara ke bukan pidana, yang berujung pada penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan/Penyidikan). Bisa juga dengan mengupayakan restorative justice, sehingga si pelapor mencabut perkara. Lebih berat lagi, oknum polisi hitam mengakomodasi oknum advokat hitam untuk membuat laporan balik, atau merekayasa pihak lain untuk membuat laporan terhadap si pelapor awal. Alhasil posisi jadi berbalik, di mana si pelapor awal sekarang menjadi pesakitan. Sebaliknya, jika klien oknum advokat hitam yang menjadi pelapor, maka oknum polisi hitam akan memrposesnya dengan cepat, dan mencari-cari kesalahan terlapor. Menko Polhukkam, Mahfud M.D., pernah memberikan statement tentang ulah oknum polisi hitam ini.

Jika si oknum advokat hitam tidak bisa menemukan oknum polisi hitam, maka dia akan "ditakdirkan" bertemu dengan oknum jaksa hitam. Dengan deal-deal khusus, oknum jaksa hitam akan mengaburkan dakwaan, atau menyampaikan tuntutan hukum yang ringan dan menguntungkan klien oknum advokat hitam.

Jika si oknum advokat hitam gagal menemukan oknum jaksa hitam, maka dia akan bertemu dengan oknum panitera hitam dan/atau oknum hakim hitam. Dengan deal-deal khusus, maka klien oknum advokat hitam dibebaskan, atau paling tidak hukumannya diringankan.

Gawatnya, terjadi "kolaborasi  apik" antar sesama oknum aparat hukum hitam. Kalau sudah begini, bisa dibayangkan betapa hitamnya wajah hukum kita. Jadi teringat kata Ronggowarsito: "zaman kini zaman edan, kalau tidak ikut edan tidak akan kebagian".

Penyebab ketiga, lemahnya pengawasan. Setiap asosiasi advokat di Indonesia, memiliki struktur pengawas untuk penegakan kode etik profesi terhadap anggotanya. Masalahnya, standar kualitas pengawasan di masing-masing asosiasi advokat berbeda satu sama lain. Apalagi dengan banyaknya asosiasi advokat, si oknum advokat hitam tidak takut untuk mendapat sanksi kode etik dari asosiasinya, karena dia dapat berpindah ke asosiasi lain yang bersedia menampung. Jika tidak ada yang mau menampung, dia bisa mendirikan asoasiasi yang baru. Inilah kelemahan dari multi asosiasi yang ada pada profesi advokat saat ini. Mungkin akan lain halnya jika di Indonesia tercipta single bar association (wadah tunggal asosiasi advokat), seperti INI (Ikatan Notaris Indonesia) untuk profesi notaris, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk profesi dokter, dan IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) untuk profesi akuntan. Untuk profesi penegak hukum lain, yang nota bene merupakan aparatur negara, Lembaga pengawasannya telah disediakan oleh negara. Seperti jaksa oleh inspektorat di Kejaksaan dan Komisi Kejaksaan, polisi oleh Propam dan Komisi Kepolisian Nasinal (Kompolnas), dan hakim oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Tindakan dari lembaga penegakan hukum lain (polisi, jaksa dan hakim) hanya dapat dilakukan jika oknum advokat hitam terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Berupaya Menjadi Advokat Putih

Orang-orang bijak mengatakan bahwa profesi itu ibarat pisau. Baik atau tidaknya penggunaan pisau sangat tergantung kepada pemegangnya. Jika dipegang oleh tukang daging, maka pisau akan digunakan untuk memotong daging. Jika dipegang oleh dokter, maka pisau digunakan untuk mengoperasi pasien. Sebaliknya jika dipegang oleh pembunuh, maka pisau digunakan untuk membunuh. Pendek kata, the man behind the gun lebih menentukan dari pada the gun-nya. Hitam atau putihnya suatu profesi, tergantung pada orang yang menjalani profesi tersebut. Kalau ada oknum advokat hitam, insyaallah ada advokat putih (bukan oknum).

Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk menjadi advokat putih? Ada beberapa faktor yang bisa menentukan, antara lain faktor pribadi, faktor internal organisasi, dan faktor eksternal.

Faktor Pribadi

Sebagai the man behind the gun, faktor pribadi merupakan penentu utama seseorang menjadi advokat putih. Berdasarkan pemikiran Penulis terdapat 6(enam) langkah yang dapat dilakukan agar seseorang dapat menjadi advokat putih.

Pertama, meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan YME, sebagaimana sila pertama Pancasila. Menyadari kemuliaan penobatan profesi advokat, yang pengangkatannya melalui penyumpahan dengan menyebut nama Tuhan. Berarti, advokat bertanggung jawab langsung kepada Tuhan . Seluruh isi dunia dapat dikelabui, tapi Tuhan tidak. Tidak ada sedikit amalanpun yang luput dari perhitungan-Nya, walaupun sebesar atom (biji zarah).

Advokat putih mampu memilah rezeki yang pantas dipersembahkan kepada keluarga. Dia "hanya" memberikan nafkah dari rezeki yang halal, baik dan berkah.

Kedua, pemahaman etika profesi. Memahami dan melaksanakan tugas advokat sesuai dengan etika profesi, membuat advokat mudah mempertanggungjawabkannya terhadap pengawas profesi dan sesama kolega.

Ketiga, taat hukum. Menjalankan profesi advokat sesuai dengan koridor hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa. Taat hukum membuat kita nyaman dan percaya diri.

Keempat, memberikan pemahaman yang baik kepada klien/calon klien, bahwa kewajiban advokat adalah berusaha maksimal untuk memenangkan klien, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kode etik profesi dan alat bukti yang ada. Kemenangan klien memang membawa both side effect yang saling menguntungkan bagi advokat dan klien. Namun advokat tidak menjanjikan kemenangan kepada klien, apalagi dengan menempuh cara yang tidak benar. Penulis dan tim kuasa hukum selalu berusaha memegang komitmen itu. Kepada klien selalu disampaikan bahwa tim kuasa hukum tidak akan memberikan sesuatu kepada aparat penegak hukum lain dan melarang klien untuk melakukan hal yang sama. Apabila klien tetap melakukannya, maka bukanlah menjadi tanggung jawab tim kuasa hukum.

Kelima, tidak termakan oleh bujuk rayu/sikap oknum penegak hukum hitam lainnya (baca: oknum advokat hitam, oknum polisi hitam, oknum jaksa hitam dan oknum panitera/hakim hitam.  Salah satu pengalaman Penulis, sewaktu mewakili klien perkara perdata, oknum kuasa hukum lawan mengajak perdamaian tanpa melibatkan dan tanpa persetujuan klien, dengan iming-iming keuntungan dibagi sesama lawyer. Tawarannya memang menggiurkan, namun kami tolak dengan halus. Kami sampaikan bahwa kami hanya akan melakukannya dengan melibatkan atau persetujuan klien dan memberikan keuntungan maksimal bagi klien. Pernah juga, saat Penulis mewakili sebuah perusahaan, membuat Laporan Polisi (LP) terkait kasus penipuan dan penggelapan. Seorang oknum polisi penyelidik meminta uang dengan dalih untuk biaya mencari si terlapor yang buron. Jumlahnya tidak ditentukan (tapi Penulis bisa menerka berdasarkan nilai kerugian yang dilaporkan), dan tidak boleh ditransfer serta tidak akan ada bukti tanda terima. Penulis jawab sekaligus memohon maaf bahwa permintaan si oknum tidak bisa dipenuhi karena perusahaan yang Penulis wakili merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ketat dengan penerapan Good Corporate Governance (GCG). Meskipun penolakan ini berisiko si oknum akan "kesulitan" menindaklanjuti LP, namun Penulis menganggap penolakan tersebut adalah bentuk penghargaan terhadap profesi sang polisi. Pernah juga, dalam perkara perdata yang lain, saat bersalaman dengan seorang hakim pengadil, Penulis diberi kode tertentu oleh sang hakim. Penulis memahami maksudnya, tapi Penulis memilih berpura-pura bego dan tidak memenuhinya, walaupun berisiko perkara tidak dimenangkan. Penulis memilih lebih menghargai kredibilitas sang hakim ketimbang melecehkannya dalam bentuk bribe money.

Keenam, fokus pada materi perkara, dalil-dalil dan alat bukti. Tugas utama advokat dalam membela klien adalah bagaimana meyakinkan aparat hukum lainnya atas kebenaran klien. Karena itu, advokat fokus pada kebenaran materil dan kebenaran formil sesuai dengan kenyataan yang ada. Tidak tergoda untuk merekayasa atau memalsukan bukti dan saksi, karena kalau ketahuan sanksinya sangat berat.

Faktor Internal (Oleh Organisasi)

Oragnisasi wadah (asosiasi) advokat perlu terus menerus meningkatkan profesionalitas, moral dan etika para anggotanya. Penulis bersyukur asosiasi advokat, yang Penulis ikuti, rajin memberikan pembinaan kepada anggota, baik melalui rapat, pelatihan dan diskusi. Sikap cepat tanggap ditunjukkan oleh Lembaga Pengawas Kode Etik yang dengan segera merespon setiap adanya laporan pelanggaran kode etik oleh anggotanya. Penulis, sebagaimana juga Menkumham Yasonna Laloly, sangat berharap agar segera terbentuk single bar association yang lebih kompak dan berwibawa seperti INI, IDI dan IAI.

Faktor Eksternal (Oleh Negara)

Negara memiliki peranan penting dalam membina semua aparat penegak hukum yang menjadi mitra advokat dan merupakan aparatur negara (yaitu hakim, jaksa dan polisi). Melalui program revolusi mental dan reformasi aparatur negara, yang dicanangkan oleh Presiden RI, serta pembinaan internal intensif oleh masing-masing lembaga penegak hukum, seharusnya sudah bisa menghasilkan aparat penegak hukum yang bersih, berwibawa dan professional.

Pengawasan oleh lembaga-lembaga pengawas eksternal (Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Kompolnas, dan Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) perlu lebih ditingkatkan agar mampu meminimalisasi atau menghindari lahirnya oknum aparat penegak hukum hitam. Dengan demikian, karena tidak memiliki partner di lembaga penegak hukum lain, gerak langkah oknum advokat hitam untuk melakukan perbuatan menyimpang menjadi sangat sempit.

Kalau semua faktor ini sudah dilaksanakan dengan baik, kita berharap tidak akan ada lagi oknum advokat hitam. Yang ada hanyalah "advokat putih" dan "aparat penegak hukum putih". Dengan demikian, wajah hukum Indonesia pun menjadi putih dan berseri.

Bandung, 22 Nopember 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun