Ketiga, taat hukum. Menjalankan profesi advokat sesuai dengan koridor hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa. Taat hukum membuat kita nyaman dan percaya diri.
Keempat, memberikan pemahaman yang baik kepada klien/calon klien, bahwa kewajiban advokat adalah berusaha maksimal untuk memenangkan klien, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kode etik profesi dan alat bukti yang ada. Kemenangan klien memang membawa both side effect yang saling menguntungkan bagi advokat dan klien. Namun advokat tidak menjanjikan kemenangan kepada klien, apalagi dengan menempuh cara yang tidak benar. Penulis dan tim kuasa hukum selalu berusaha memegang komitmen itu. Kepada klien selalu disampaikan bahwa tim kuasa hukum tidak akan memberikan sesuatu kepada aparat penegak hukum lain dan melarang klien untuk melakukan hal yang sama. Apabila klien tetap melakukannya, maka bukanlah menjadi tanggung jawab tim kuasa hukum.
Kelima, tidak termakan oleh bujuk rayu/sikap oknum penegak hukum hitam lainnya (baca: oknum advokat hitam, oknum polisi hitam, oknum jaksa hitam dan oknum panitera/hakim hitam. Â Salah satu pengalaman Penulis, sewaktu mewakili klien perkara perdata, oknum kuasa hukum lawan mengajak perdamaian tanpa melibatkan dan tanpa persetujuan klien, dengan iming-iming keuntungan dibagi sesama lawyer. Tawarannya memang menggiurkan, namun kami tolak dengan halus. Kami sampaikan bahwa kami hanya akan melakukannya dengan melibatkan atau persetujuan klien dan memberikan keuntungan maksimal bagi klien. Pernah juga, saat Penulis mewakili sebuah perusahaan, membuat Laporan Polisi (LP) terkait kasus penipuan dan penggelapan. Seorang oknum polisi penyelidik meminta uang dengan dalih untuk biaya mencari si terlapor yang buron. Jumlahnya tidak ditentukan (tapi Penulis bisa menerka berdasarkan nilai kerugian yang dilaporkan), dan tidak boleh ditransfer serta tidak akan ada bukti tanda terima. Penulis jawab sekaligus memohon maaf bahwa permintaan si oknum tidak bisa dipenuhi karena perusahaan yang Penulis wakili merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ketat dengan penerapan Good Corporate Governance (GCG). Meskipun penolakan ini berisiko si oknum akan "kesulitan" menindaklanjuti LP, namun Penulis menganggap penolakan tersebut adalah bentuk penghargaan terhadap profesi sang polisi. Pernah juga, dalam perkara perdata yang lain, saat bersalaman dengan seorang hakim pengadil, Penulis diberi kode tertentu oleh sang hakim. Penulis memahami maksudnya, tapi Penulis memilih berpura-pura bego dan tidak memenuhinya, walaupun berisiko perkara tidak dimenangkan. Penulis memilih lebih menghargai kredibilitas sang hakim ketimbang melecehkannya dalam bentuk bribe money.
Keenam, fokus pada materi perkara, dalil-dalil dan alat bukti. Tugas utama advokat dalam membela klien adalah bagaimana meyakinkan aparat hukum lainnya atas kebenaran klien. Karena itu, advokat fokus pada kebenaran materil dan kebenaran formil sesuai dengan kenyataan yang ada. Tidak tergoda untuk merekayasa atau memalsukan bukti dan saksi, karena kalau ketahuan sanksinya sangat berat.
Faktor Internal (Oleh Organisasi)
Oragnisasi wadah (asosiasi) advokat perlu terus menerus meningkatkan profesionalitas, moral dan etika para anggotanya. Penulis bersyukur asosiasi advokat, yang Penulis ikuti, rajin memberikan pembinaan kepada anggota, baik melalui rapat, pelatihan dan diskusi. Sikap cepat tanggap ditunjukkan oleh Lembaga Pengawas Kode Etik yang dengan segera merespon setiap adanya laporan pelanggaran kode etik oleh anggotanya. Penulis, sebagaimana juga Menkumham Yasonna Laloly, sangat berharap agar segera terbentuk single bar association yang lebih kompak dan berwibawa seperti INI, IDI dan IAI.
Faktor Eksternal (Oleh Negara)
Negara memiliki peranan penting dalam membina semua aparat penegak hukum yang menjadi mitra advokat dan merupakan aparatur negara (yaitu hakim, jaksa dan polisi). Melalui program revolusi mental dan reformasi aparatur negara, yang dicanangkan oleh Presiden RI, serta pembinaan internal intensif oleh masing-masing lembaga penegak hukum, seharusnya sudah bisa menghasilkan aparat penegak hukum yang bersih, berwibawa dan professional.
Pengawasan oleh lembaga-lembaga pengawas eksternal (Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Kompolnas, dan Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) perlu lebih ditingkatkan agar mampu meminimalisasi atau menghindari lahirnya oknum aparat penegak hukum hitam. Dengan demikian, karena tidak memiliki partner di lembaga penegak hukum lain, gerak langkah oknum advokat hitam untuk melakukan perbuatan menyimpang menjadi sangat sempit.
Kalau semua faktor ini sudah dilaksanakan dengan baik, kita berharap tidak akan ada lagi oknum advokat hitam. Yang ada hanyalah "advokat putih" dan "aparat penegak hukum putih". Dengan demikian, wajah hukum Indonesia pun menjadi putih dan berseri.
Bandung, 22 Nopember 2022