Gawatnya, terjadi "kolaborasi apik" antar sesama oknum aparat hukum hitam. Kalau sudah begini, bisa dibayangkan betapa hitamnya wajah hukum kita. Jadi teringat kata Ronggowarsito: "zaman kini zaman edan, kalau tidak ikut edan tidak akan kebagian".
Penyebab ketiga, lemahnya pengawasan. Setiap asosiasi advokat di Indonesia, memiliki struktur pengawas untuk penegakan kode etik profesi terhadap anggotanya. Masalahnya, standar kualitas pengawasan di masing-masing asosiasi advokat berbeda satu sama lain. Apalagi dengan banyaknya asosiasi advokat, si oknum advokat hitam tidak takut untuk mendapat sanksi kode etik dari asosiasinya, karena dia dapat berpindah ke asosiasi lain yang bersedia menampung. Jika tidak ada yang mau menampung, dia bisa mendirikan asoasiasi yang baru. Inilah kelemahan dari multi asosiasi yang ada pada profesi advokat saat ini. Mungkin akan lain halnya jika di Indonesia tercipta single bar association (wadah tunggal asosiasi advokat), seperti INI (Ikatan Notaris Indonesia) untuk profesi notaris, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk profesi dokter, dan IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) untuk profesi akuntan. Untuk profesi penegak hukum lain, yang nota bene merupakan aparatur negara, Lembaga pengawasannya telah disediakan oleh negara. Seperti jaksa oleh inspektorat di Kejaksaan dan Komisi Kejaksaan, polisi oleh Propam dan Komisi Kepolisian Nasinal (Kompolnas), dan hakim oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Tindakan dari lembaga penegakan hukum lain (polisi, jaksa dan hakim) hanya dapat dilakukan jika oknum advokat hitam terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Berupaya Menjadi Advokat Putih
Orang-orang bijak mengatakan bahwa profesi itu ibarat pisau. Baik atau tidaknya penggunaan pisau sangat tergantung kepada pemegangnya. Jika dipegang oleh tukang daging, maka pisau akan digunakan untuk memotong daging. Jika dipegang oleh dokter, maka pisau digunakan untuk mengoperasi pasien. Sebaliknya jika dipegang oleh pembunuh, maka pisau digunakan untuk membunuh. Pendek kata, the man behind the gun lebih menentukan dari pada the gun-nya. Hitam atau putihnya suatu profesi, tergantung pada orang yang menjalani profesi tersebut. Kalau ada oknum advokat hitam, insyaallah ada advokat putih (bukan oknum).
Lalu, apa upaya yang bisa dilakukan untuk menjadi advokat putih? Ada beberapa faktor yang bisa menentukan, antara lain faktor pribadi, faktor internal organisasi, dan faktor eksternal.
Faktor Pribadi
Sebagai the man behind the gun, faktor pribadi merupakan penentu utama seseorang menjadi advokat putih. Berdasarkan pemikiran Penulis terdapat 6(enam) langkah yang dapat dilakukan agar seseorang dapat menjadi advokat putih.
Pertama, meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan YME, sebagaimana sila pertama Pancasila. Menyadari kemuliaan penobatan profesi advokat, yang pengangkatannya melalui penyumpahan dengan menyebut nama Tuhan. Berarti, advokat bertanggung jawab langsung kepada Tuhan . Seluruh isi dunia dapat dikelabui, tapi Tuhan tidak. Tidak ada sedikit amalanpun yang luput dari perhitungan-Nya, walaupun sebesar atom (biji zarah).
Advokat putih mampu memilah rezeki yang pantas dipersembahkan kepada keluarga. Dia "hanya" memberikan nafkah dari rezeki yang halal, baik dan berkah.
Kedua, pemahaman etika profesi. Memahami dan melaksanakan tugas advokat sesuai dengan etika profesi, membuat advokat mudah mempertanggungjawabkannya terhadap pengawas profesi dan sesama kolega.