Mohon tunggu...
吳明源 (Jonathan Calvin)
吳明源 (Jonathan Calvin) Mohon Tunggu... Administrasi - Pencerita berdasar fakta

Cerita berdasar fakta dan fenomena yang masih hangat diperbincangkan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Menerka Peluang Pandemi Berikutnya?

10 Desember 2022   08:00 Diperbarui: 10 Desember 2022   08:13 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Microscopic View Coronavirus (sumber : https://mesin.akprind.ac.id/wp-content/uploads/2020/03/Coronavirus-blue-and-pink-illustration-1024x73

Sejak pandemi COVID-19 yang meluas di seluruh negara dan menjangkit hampir seluruh penduduk di dunia.

Muncul banyak praduga mengenai asal mula virus tersebut yang saat ini belum terbukti hingga terbentuk teori konspirasi mengenai asal mula terciptanya virus ini. Mulai dari berbagai hasil penelitian yang menyatakan bahwa kelelawar menjadi sumber penularan Virus Corona yang dikutip dari penelitian terdahulu “Bat Coronaviruses and Experimental Infection of Bats, the Philippines”; “Bat Coronavirus of Pteropus alecto from Gorontalo Province, Indonesia”; hingga “Synthetic recombinant bat SARS-like coronavirus is infectious in cultured cells and in mice” yang diterbitkan dalam jurnal Biological Sciences di tahun 2008 hingga menyebut bahwa Virus Corona merupakan rancangan hasil laboratorium yang berarti telah dirancang oleh manusia dari berita berjudul “Scientist who worked at Wuhan lab claims Covid-19 was man-made by the U.S”; bahkan terdapat penelitian yang membuktikan bahwa Virus Corona dapat dibuat di dalam laboratorium pada penelitian berjudul “Role of spike in the pathogenic and antigenic behavior of SARS-CoV-2 BA.1 Omicron

Dalam penelitian itu, tim ilmuwan di Boston University merilis studi preprint yang melaporkan bahwa mereka telah menciptakan versi SARS-CoV-2 yang menggabungkan dua fitur dari strain yang berbeda dan ada yang meningkatkan virulensi dan penularannya.

Dari penelitian tersebut, menimbulkan pertanyaan tentang pekerjaan itu, yang memfokuskan kembali perhatian pada eksperimen semacam itu. Kekhawatiran para peneliti mengerucut pada apa yang yang dikenal sebagai studi gain of function, di mana virus, bakteri, atau patogen lain dibuat di laboratorium baik sengaja atau tidak sengaja yang memiliki fitur yang lebih ganas dan menyebabkan penyakit daripada yang ditemukan di alam.

Kontroversi ini semakin menjadi perhatian dalam konteks COVID-19, karena pertanyaan tentang dari mana virus itu berasal apakah itu melompat dari hewan ke manusia atau apakah itu dibuat di Institut Virologi Wuhan oleh para ilmuwan yang mempelajari virus corona sebelumnya masih belum terselesaikan.

Para ilmuwan dari Boston University mencoba menjawab pertanyaan mengenai apa yang membuat Omicron lebih mampu melarikan diri dari perlindungan yang diberikan oleh sistem kekebalan tubuh dan vaksin.

Untuk itu, mereka menciptakan virus chimeric yang mengandung beberapa materi genetik dari virus SARS-CoV-2 asli, dan beberapa dari strain Omicron BA.1, dengan fokus pada fitur utama virus, protein spike yang memperingatkan sistem kekebalan tubuh untuk beraksi.

Namun, dalam prosesnya, tim membuat versi virus yang mereka temukan 80% mematikan pada tikus laboratorium. Pada penelitian ini membuktikan premis atau kemungkinan bahwa virus dapat dibuat oleh manusia melalui pengkulturan laboratorium dengan menggunakan bentuk modifikasi ekstensi polimerase siklik reaksi 76.

Gambar 2. modifikasi ekstensi polimerase siklik reaksi 76 (sumber : https://www.biorxiv.org/content/10.1101/2022.10.13.512134v1.full.pdf)
Gambar 2. modifikasi ekstensi polimerase siklik reaksi 76 (sumber : https://www.biorxiv.org/content/10.1101/2022.10.13.512134v1.full.pdf)

Teori lain menyebutkan virus COVID beserta potensi pandemi berikutnya berasal dari permafrost (lapisan lapisan tanah beku yang berada di bawah suhu 0 °C selama beberapa tahun apabila hancur secara tiba-tiba dan bisa melepas simpanan gas rumah kaca lebih cepat dari yang diperkirakan).

Hal ini dibuktikan dari beberapa penelitian yang mengungkap penemuan virus dibawah lapisan Permafrost dan seiring dengan mencairnya permafrost, asumsi itu terbukti. Seperti halnya dalam penelitian berjudul “An update on eukaryotic viruses revived from ancient permafrost”dan “The world’s largest High Arctic lake responds rapidly to climate warming”.

Dari penelitian itu, para ilmuwan menghidupkan kembali beberapa virus besar yang telah terkubur di tanah Siberia beku (permafrost) selama puluhan ribu tahun. Virus termuda yang dihidupkan kembali adalah yang berusia 27.000 tahun dan yang tertua Pandoravirus berusia sekitar 48,500 tahun. Ini adalah virus tertua yang pernah dihidupkan kembali.

Gambar 3.  Virus yang ditemukan di bawah Permafrost (A. Partikel bulat telur besar (panjang 1.000 nm) Pandoravirus; B. Campuran partikel Pandoravirus 
Gambar 3.  Virus yang ditemukan di bawah Permafrost (A. Partikel bulat telur besar (panjang 1.000 nm) Pandoravirus; B. Campuran partikel Pandoravirus 

Saat dunia terus menghangat, lapisan es yang mencair melepaskan bahan organik yang telah dibekukan selama ribuan tahun, termasuk bakteri dan virus beberapa yang masih dapat bereproduksi. Penelitian terbaru dari sekelompok ilmuwan dari Prancis, Jerman dan Rusia berhasil menghidupkan kembali 13 virus  dengan nama eksotis seperti Pandoravirus dan Pacmanvirus yang diambil dari tujuh sampel lapisan es Siberia.

Ini bukan pertama kalinya virus yang layak terdeteksi dalam sampel permafrost. Studi sebelumnya telah melaporkan deteksi Pithovirus dan Mollivirus 

Gambar 4. Pencitraan partikel Mollivirus
Gambar 4. Pencitraan partikel Mollivirus

Gambar 5.  Pencitraan mikroskop elektron partikel Pithovirus dan sel Acanthamoeba yang terinfeksi
Gambar 5.  Pencitraan mikroskop elektron partikel Pithovirus dan sel Acanthamoeba yang terinfeksi

Dalam jurnal preprint yang diterbitkan, para penulis menyatakan bahwa "sah untuk merenungkan risiko partikel virus purba tetap menular dan kembali ke sirkulasi dengan pencairan lapisan permafrost kuno".

Update Terbaru Penelitian

Namun, disamping virus yang bisa saja menjadi ancaman meskipun saat ini belum ada bukti yang kuat, bakteri bisa menjadi masalah. Selama bertahun-tahun, ada beberapa wabah antraks (penyakit bakteri yang mempengaruhi ternak dan manusia) yang mempengaruhi rusa di Siberia.

Dari hasil penelitian terbaru, semua virus yang ditemukan tim hanya menginfeksi amoeba dan bukan ancaman langsung terhadap kesehatan masyarakat akan tetapi masih hidup dan mampu bereplikasi. Hal ini setidaknya menjadi peringatan bahwa virus ataupun bakteri yang tidak aktif yang berbahaya bagi manusia juga dapat dihidupkan kembali dari persembunyian di bawah lapisan es. Ancaman ini telah dibuktikan dengan merebaknya Bakteri Antraks akibat melelehnya Permafrost di Siberia bagian Utara tahun 2016. Pada awalnya, gelombang panas mencairkan bangkai rusa beku berusia 75 tahun yang terinfeksi antraks. Ketika penyakit itu menyebar, puluhan orang dirawat di rumah sakit, satu anak tewas dan kematian 2.350 rusa.

Bangkitnya Gen Resisten Antimikroba?

Kekhawatiran lainnya mengenai bangkitnya organisme yang resisten terhadap antimikroba. Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa gen resistensi antimikroba dapat dideteksi dalam sampel permafrost. Dalam penelitian berjudul “Metagenomic survey of the microbiome of ancient Siberian permafrost and modern Kamchatkan cryosols”munculnya versi baru β-laktamase spektrum panjang dari lingkungan adalah masalah kesehatan masyarakat utama. Dengan demikian, semakin banyak bakteri multidrug-resistant yang muncul yang infeksinya menyebabkan lebih dari satu juta kematian per tahun.

Tingginya proporsi bakteri yang membawa beta-laktamase di tanah murni yang tidak tersentuh oleh aktivitas manusia sama sekali tidak terduga dan untuk saat ini tidak dapat dijelaskan. Fenomena seperti itu diharapkan dari komunitas mikroba di tanah pertanian atau pertanian di mana penggunaan antibiotik yang berat akan mengalami resistensi. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa persaingan di antara mikroorganisme tanah misalnya antara bakteri dan/atau jamur mungkin melibatkan sintesis alami senyawa pensinyalan/penghambatan terkait beta-laktam.

Penelitian ini semakin membuktikan bahwa selain virus prasejarah yang dikandungnya, permafrost juga menjadi reservoir besar gen resistensi antibiotik yang dapat digunakan kembali baik dalam bakteri purba yang dihidupkan kembali atau oleh transformasi bakteri kontemporer ketika mencair.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun