Kiri dikira komunis
Kanan dicap kapitalis
Keras dikatai fasis
Tengah dinilai tak ideologisMuka klimis katanya necis
Jenggotan dikatai teroris
Bersurban dibilang kearab-araban
Bercelana Levi's di-bully kebarat-baratanMakin hari makin susah saja
Menjadi manusia yang manusia
Sepertinya menjadi manusia
Adalah masalah buat manusia
Begitulah beberapa penggalan lirik dari lagu Irsan Skuter berjudul Bingung yang menurut saya dapat memberikan gambaran mengenai kondisi dunia saat ini. Di tengah merebaknya virus Corona, beberapa negara melemparkan stigma buruk terhadap negara asal virus, China.
Fenomena pemberian stigma tersebut acapkali didasari oleh xenofobia. Tidak hanya dalam kasus virus Corona, pengaruh xenofobia yang dibenturkan dengan sentimen terhadap agama tertentu juga mendasari peristiwa penolakan pembangunan Gereja Santo Joseph di Karimun, Perusakan Musala di Minahasa Utara, hingga yang terbaru, peristiwa kerusuhan yang berujung pembantaian di Delhi
Kasus Xenofobia Pertama Indonesia
Salah satu peristiwa pembantaian etnis tertua di Indonesia adalah Peristiwa Geger Pacinan atau bisa disebut Tragedi Angke atau juga bisa disebut Perang Sepanjang yang berlangsung dari tahun 1740 hingga 1743.
Perang tersebut diawali dengan kebijakan Gubernur VOC, Adriaan Valckenier memberlakukan kebijakan keras untuk mengurangi populasi etnis Tionghoa di Batavia yang saat itu dianggap sudah terlalu banyak.
Adriaan Valckenier mengharuskan masyarakat Tionghoa memiliki izin menetap atau permissie brief dengan ketentuan setiap orang Tionghoa harus membayar dua ringgit.
Peraturan ini banyak digunakan sebagai alat pemerasan pada masyarakat Tionghoa dengan menangkap mereka yang tidak membayar izin menetap.
Menurut Daradjadi pada bukunya “Geger Pacinan, Persekutuan Tionghoa Jawa Melawan VOC” Setelah ditangkap dan para warga Tionghoa membayar, mereka kemudian dilepas namun tidak lama kemudian ditangkap kembali.
Selain pemberlakuan izin menetap, adapula warga keturunan Tionghoa di Batavia yang dikirim ke wilayah koloni Belanda lainnya, termasuk Sri Lanka atau ke Afrika. Namun, di tengah proses pengiriman itu, tersiar desas-desus bahwa di tengah jalan, para warga yang dikirim dilempar ke tengah laut.
Isu ini tak pelak menyebabkan kepanikan bagi kalangan warga keturunan Tionghoa di Batavia hingga akhirnya mereka membentuk gerakan perlawanan yang dipimpin Kapiten Sepanjang yang dibantu oleh Amangkurat V (Sunan Kuning) dan Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa).
Gerakan perlawanan warga keturunan Tionghoa di Batavia juga diikuti orang-orang Tionghoa dari wilayah sekitar Batavia, termasuk Tangerang dan Bekasi. Jumlah mereka tidak kurang dari 10 ribu orang untuk melawan VOC.
VOC pun membalasnya dengan melakukan politik adu domba menyebarkan isu bahwa warga keturunan Tionghoa berencana memperkosa perempuan pribumi, membunuh para lelakinya, atau menjadikannya sebagai budak. Isu ini berhasil memancing xenofobia kaum pribumi sehingga kaum pribumi dari berbagai suku yang ada di Batavia pun bergabung dengan VOC untuk membantai etnis Tionghoa
Definisi Xenofobia
Menurut kamus Merriam-Webster, xenofobia dapat digambarkan sebagai seseorang yang memiliki ketakutan atau kebencian terhadap orang asing, pendatang, ataupun imigran. Dalam ilmu psikologi, xenofobia tergolong sebagai gangguan kecemasan.
Seseorang dapat digolongkan mengalami xenofobia apabila orang tersebut bersikap berlebihan dan mengalami ketakutan dan kecemasan yang intens terhadap orang asing atau pendatang.
Biasanya, gangguan ini disebabkan luka batin yang meninggalkan trauma. Menurut Licatta dalam Journal of Community and Applied Social Psychology, saat ini, xenofobia sering dikaitkan dengan ethnocentrism yaitu sikap suatu kelompok yang merasa lebih superior dibandingkan kelompok lainnya
Dalam buku International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, xenofobia digambarkan sebagai sebuah retorika hasil dinamika publik yang memberikan stigma dan menjelek-jelekkan imigran dengan menyebarkan kabar bahwa keberadaan para imigran tersebut merupakan ancaman dan menjadikan mereka sebagai kambing hitam atas masalah sosial
Xenofobia juga dapat muncul karena motif ekonomi, seperti yang diungkapkan Marsella & Ring dalam bukunya, Migration: Immigration and emigration in international perspective yang mengungkapkan ketakutan terhadap imigran disebabkan ketakutan karena imigran dapat mengurangi sumber pendapatan penduduk lokal, mengubah kondisi demografi (kependudukan), mengurangi pengaruh politik tokoh pribumi
Pendapat lain pun ditulis oleh Gary Bernhard dan Kalman Glantz dalam tulisannya berjudul Why Xenophobia Works ? yang mengemukakan bahwa xenofobia sendiri merupakan sifat asli dan telah tertanam dalam gen setiap manusia.
Menurut Bernhard, Xenofobia merupakan elemen penting dalam sistem emosi manusia yang menyebabkan nenek moyang manusia merasa terikat di dalam kelompoknya.
Xenofobia dapat memberikan 2 efek utama yaitu mendorong seseorang untuk mempertahankan kelompoknya dan mengikat masing-masing anggota kelompok dalam kebersamaan.
Pada awalnya, Xenofobia inilah yang membentuk keterikatan masing-masing anggota kelompok manusia sehingga menyebabkan kelompok tersebut dapat bertahan di alam bebas.
Namun, di masa sekarang, dengan beragamnya suku bangsa yang ada di masyarakat dan senjata yang telah diciptakan, xenofobia dapat membawa bahaya untuk masing-masing suku bangsa.
Saat ini, manusia telah tinggal menetap sembari menjalani profesinya masing-masing. Manusia yang sebelumnya tinggal bersama dalam suatu kelompok di dalam gua-gua menjadi tersebar.
Dalam kondisi masyarakat yang beragam, masing-masing individu menjadi suatu entitas yang abstrak. Untuk itu, demi “mengikat” masing-masing suku bangsa yang memiliki ciri berbeda dibuatlah kesepakatan untuk setia pada suatu negara, bahasa resmi, agama resmi, sistem blok/ sekutu yang berisikan beberapa negara.
Xenofobia rawan digunakan sebagai alat politik dikarenakan selain teman yang sama, mempunyai musuh bersama juga dapat menyatukan sekelompok manusia
Xenofobia dan Wabah Penyakit
Pendapat Gary Bernhard dan Kalman Glantz juga diamini oleh Dr. Steve Taylor, pengajar senior Psikologi dari Leeds Met University dalam bukunya, Psychology of Pandemics yang mengungkapkan bahwa salah satu dasar munculnya xenofobia karena kebiasaan manusia yang hidup mengelompok (kesukuan/ berdasarkan suku masing-masing) di alam.
Sebagaimana dikutip dari media The Hill, ia mengatakan bahwa manusia tumbuh dan berkembang dalam kelompok yang kecil sedangkan seringkali penyakit infeksi yang menginfeksi kelompok tersebut dibawa oleh pendatang dari luar kelompok tersebut.
Dari sinilah, tercipta kondisi xenofobia seperti contohnya masyarakat Inggris yang dalam kesehariannya hidup dengan sesama warga Inggris, sangat gagap menghadapi Virus Korona yang berasal dari Negeri Tiongkok sehingga mereka melakukan tindakan rasisme dan pemukulan terhadap pelajar asal Singapura beretnis Tionghoa yang sedang menimba ilmu di Inggris sebagai bentuk mengkambinghitamkan etnis Tionghoa atas penyebaran Virus Korona
Untuk itu, diperlukan pemahaman lebih mendalam kaum muda mengenai teori evolusi manusia yaitu meskipun masing-masing manusia berbeda menurut budaya yang mereka yakini baik bahasa, agama, pengalaman, hingga pendidikan, akan tetapi seluruh manusia sejatinya tergolong sebagai spesies yang sama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H