Selain Barghouti, pihak cukai dan keamanan amerika juga menahan Ismail Ajjawi, mahasiswa Universitas Harvard dari Palestina terkait postingannya di media sosial. Pemerintahan Donald Trump juga mengeluarkan kebijakan untuk melarang masuknya wisatawan dari 5 negara mayoritas muslim ke Amerika Serikat.
Dengan kebijakan itu, para peneliti dari Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman dicegah untuk bekerja, belajar ataupun menghadiri pertemuan ilmiah di Amerika Serikat. Saat ini, tidak hanya negara muslim itu saja, amerika juga mengeluarkan larangan berkunjung bagi pendatang dari Venezuela dan Korea Utara
Nyatanya, peristiwa kekerasan pada civitas akademika tidak hanya terjadi di negara maju. Peristiwa tersebut juga banyak terjadi di negara berkembang. India memiliki jejak kasus kekerasan yang cukup banyak terhadap civitas akademika mulai dari korupsi, pelecehan seksual, hingga perbedaan ideologi.
Kanuri Rao, seorang imunolog yang juga menjabat Kepala Translational Health Science and Technology Institute (THSTI) telah dicopot dari jabatannya akibat Rao menunjukkan tindakan tidak senonoh kepada staff wanita yang menjadi bawahannya, melecehkannya, bahkan mengancamnya.
Menurut Vineeta Bal, imunolog di Indian Institute of Science Education and Research, pelaporan seorang wanita yang mengalami pelecehan seksual di India hal yang tidak biasa. Beberapa ilmuwan perempuan India yang mengalami pelecehan seksual menolak untuk melaporkan kejadian yang dialami dikarenakan ketakutan mereka untuk mempertaruhkan karier dan pekerjaan mereka.
Selain memperoleh tindakan kekerasan pelecehan seksual, para akademisi dan peneliti juga memperoleh ancaman lain seperti dipenjarakan hingga dibunuh. Sekelompok ilmuwan Iran yang tergabung dalam Persian Wildlife Heritage Foundation terdiri dari Niloufar Bayani, Taher Ghadirian, Amirhossein Khaleghi Hamidi, Houman Jowkar, Sepideh Kashani, Abdolreza Kouhpayeh, Sam Rajabi, Morad Tahbaz dan Kavous Seyed Emami dipenjara atas tuduhan mata-mata.
Selama dipenjara, Kavous Seyed Emami meninggal dengan penyebab yang tidak jelas. Mereka dipenjara atas dasar penggunaan kamera jebakan untuk mempelajari satwa yang dilindungi terutama cheetah asia (Acinonyx jubatus venaticus). Satwa tersebut termasuk dalam satwa yang dilindungi dikarenakan populasinya yang kurang dari 100 di seluruh dunia dan sebagian besar diyakini terdapat di Iran. Tuduhan mata-mata tersebut datang dari dugaan Persian Wildlife Heritage Foundation yang disinyalir memiliki hubungan kuat dengan organisasi konservasi international dan program UN environment.
Sedangkan salah satu peristiwa pembunuhan terhadap ilmuwan terjadi di Afghanistan, Massoud Nekbakht dari Nangarhar University meninggal dalam sebuah serangan bom yang dipasangkan di mobilnya ketika ia mengunjungi Jalalabad, ibukota provinsi Nangarhar. Di provinsi Nangarhar, 2 kekuatan yaitu ISIS (Islamic State) dan taliban bersaing memperebutkan kekuasaan. Selain itu, Nekbakht diketahui merupakan keponakan Mawlawi Khalis, pimpinan politik setempat yang meninggal di tahun 2006
Tidak hanya di mancanegara, para akademisi dan mahasiswa di Indonesia juga tidak lepas dari ancaman pihak terkait. Pada 7 Maret 2019, Robertus Robet, dosen sosiologi di Universitas Negeri Jakarta ditangkap karena menyanyikan lagu yang mengkritik militer dan pemerintah selama aksi damai. Pihak berwajib menangkap Robet menggunakan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) atas dakwaan penghinaan terhadap militer.
Selain Robet juga ada, Bambang Hero Saharjo dosen Fakultas Kehutanan di Institut Pertanian Bogor yang belum lama ini menerima penghargaan John Maddox Prize 2019 dan Certificates of Distinction dari Global Fire Monitoring System (GFMC) atas upayanya mendudukkan persoalan kebakaran hutan di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan Guardian yang dikutip Kompas, Bambang Hero mengakui bahwa ia menjadi salah satu orang yang paling dicari perusahaan pelaku kebakaran hutan, namun sebagai ilmuwan ia harus mengatakan secara jujur hasil penelitiannya.