Tidak terasa tahun 2019 akan segera berakhir dalam hitungan hari dan berbagai peristiwa telah dilalui. Berbicara mengenai bidang pendidikan, tahun 2019 membawa kisah bangga dan merana bagi dunia pendidikan.
Jika disandingkan dengan delapan mandat penting universitas sebagai salah satu instansi pendidikan di samping sekolah menurut Guzman-Valenzuela sebagaimana diungkapkan Budi Widianarko dalam artikelnya "Menanti Kuda Troya Nadiem" di Kompas nyatanya apa yang terjadi sepanjang 2019 semakin jauh dari mandat yang diberikan.
Beberapa isi mandat yaitu memberi peluang kepada siapa saja untuk mendapatkan pendidikan tinggi tanpa pembedaan, pengecualian, dan perseteruan serta memberi akses kepada siapa saja untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang terbaik.
Namun, sebagaimana diungkapkan Survival International (organisasi yang mengkampanyekan hak dari suku asli setempat dan suku terasing) dalam laporannya mengungkapkan bahwa sekolah sebagai "pabrik" penghasil ilmu pengetahuan tak lebih sebagai tempat penyiksaan bagi anak-anak suku asli.
Di masa itu, setidaknya ada 6000 siswa meninggal berarti 1 diantara 25 anak-anak yang menjadi siswa di masa itu. Sedangkan, di masa ini, tidak jauh berbeda sebanyak 1500 anak-anak suku asli di Maharastra India meninggal sepanjang 2001 hingga 2016. Jumlah tersebut juga termasuk jumlah anak yang bunuh diri sebanyak 30
Banyaknya siswa yang bunuh diri atau mati mayoritas disebabkan tingkat depresi yang tinggi akibat trauma terhadap perlakuan dari pihak boarding school. Salah satu contohnya Norieen Yaakob, salah satu anak dari Orang Asli, suku asli Malaysia yang kabur dengan selamat dari sekolahnya setelah mengalami penyiksaan dari gurunya. Norieen ditemukan setelah 47 hari kabur dari sekolahnya bersama dengan 6 orang temannya. Hanya saja, 5 orang temannya meninggal akibat kelaparan sedangkan Norieen dan 1 orang temannya ditemukan selamat namun dalam kondisi kelaparan yang cukup parah.
Dalam pembelajaran, sistem boarding school melucuti identitas anak-anak suku asli dan tak jarang hingga nama, agama, hingga bahasa asli mereka. Salah satu residential school terbesar di India yang menyebut dirinya sebagai “rumah” bagi 27,000 anak-anak suku asli memberikan pernyataan publik hendak mengubah anak-anak suku asli dari hutang menjadi “aset” dan dari penikmat pajak menjadi pembayar pajak. Orangtua dari para siswa juga menganggap boarding school layaknya kandang ayam dimana anaknya diperlakukan seperti tahanan.
Berdasarkan penelusuran Survival International, perusahaan yang mengambil bahan dari alam seperti perusahaan tambang dan organisasi keagamaan fundamental berada di balik pendirian beberapa boarding school.
Perusahaan tersebut mencoba merebut tanah adat milik para suku asli melalui pemahaman yang diberikan dalam boarding school bahwa kegiatan tambang dan konsumerisme merupakan hal yang baik sedangkan budaya setempat suku asli merupakan sesuatu yang buruk sebagaimana diceritakan oleh salah satu ahli Adivasi education. Untuk itu, Survivor International mendesak adanya perubahan sistem karena apabila dibiarkan akan memusnahkan suku-suku asli beserta kebudayaannya di masa mendatang.
Peringatan dari PBB
Desakan Survivor International bukan omong kosong belaka. Pada tahun internasional memperingati bahasa asli (International Year of Indigenous Languages), PBB melalui Tijjani Muhammad-Bande sebagai President of the General Assembly menyatakan setiap 2 minggu setidaknya 1 bahasa asli hilang dari muka bumi, dapat diartikan setiap bulannya terdapat 2 bahasa asli yang musnah. Tiijani juga memberikan gambaran, saat ini hanya tersisa 4000 bahasa asli yang dituturkan kurang dari 6% populasi penduduk dunia.
Hal ini diperparah dengan 15% orang termiskin di planet ini merupakan orang asli. Temuan PBB juga diamini oleh artikel Survival International yang menyebutkan dari sekitar 7000 bahasa yang ada di bumi, hanya sekitar 23 bahasa yang dituturkan oleh setengah populasi dunia, di sisi lain 3000 bahasa lokal sedang terancam punah
Salah satu tempat dengan bahasa paling beranekaragam adalah Papua Barat dan Papua Nugini. Artikel The Economist mengungkapkan dengan 7,6 juta penduduk, masyarakat Papua Nugini dapat berbicara dalam 850 bahasa lokal.
Penggunaan Bahasa lokal yang semakin berkurang juga disebabkan temuan bahwa hampir setengah bahasa lokal tidak ada dalam bentuk tertulis. Bahasa tersebut disampaikan secara oral melalui cerita, lagu, puisi dan ritual secara turun temurun sehingga para ilmuwan sedikit sulit untuk melakukan restorasi bahasa setempat
Budaya asli (indigenous traditions) dapat berperan sebagai warisan ilmu pengetahuan lokal pada generasi mendatang baik itu dari segi penciptaan ramuan obat-obat herbal hingga cara pengolahan makanan dalam komunitas tersebut. Budaya asli juga menunjukkan sebagian besar identitas seseorang berasal
Untuk itu, PBB menganjurkan untuk memasukkan bahasa masing-masing daerah dalam kurikulum pembelajaran sekolah setempat untuk mencegah kepunahan bahasa lokal akibat pengaruh eksternal. Di samping itu, Survival International juga menyarankan bagi orangtua suku asli untuk mengontrol pendidikan yang diperoleh anaknya karena sejatinya pendidikan yang baik harus berakar dari kebudayaan dan bahasa setempat
BERSAMBUNG SELANJUTNYA KE BAGIAN 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H