Sedari dulu, masyarakat dunia masih mengilhami paham patriarki dimana paham tersebut lebih menempatkan kaum adam sebagai pemegang tampuk kekuasaan. Hal ini masih dipegang hingga saat ini untuk daerah-daerah yang menganut adat-adat ketimuran, salah satunya Indonesia. Jika dilihat dengan realita saat ini, paham ini masih dipegang kuat oleh rata-rata penduduk Indonesia (kecuali Orang Minang).
Di sisi lain, beberapa budaya masyarakat Indonesia turut mendukung suburnya paham ini misalnya saja penggunaan nama keluarga suami oleh istri setelah menjalani pernikahan yang menurut hemat saya semakin menonjolkan paham ini dan melemahkan perjuangan emansipasi wanita guna membentuk wanita yang percaya diri di atas kaki sendiri.
Sejarah
Namun bila ditilik dari sejarah, kebiasaan tersebut sebenarnya telah dilakukan sejak zaman dahulu. Menurut majalah Seattle Bridge yang mengulas tentang perkawinan dalam artikel The History Behind Maiden vs Married Names yang ditulis oleh Stephanie Reid mengungkapkan awal mula kebiasaan tersebut berasal dari abad pertengahan tepatnya di Negeri Ratu Elizabeth.
Pada masa tersebut, banyak orang memiliki nama panggilan atau "surname" dari nama baptis Agama Katolik namun seiring berjalannya waktu, banyak orang yang memiliki nama panggilan yang sama dikarenakan memiliki nama baptis yang sama. Terlihat membingungkan, masyarakat akhirnya memilih menggunakan nama panggilan berasal dari garis keturunan, pekerjaan ataupun dari kebudayaan lokal.
Sejatinya, pemakaian nama keluarga suami oleh istri belum diatur dalam Hukum Inggris hingga menginjak abad-9, seseorang yang berwenang membuat hukum kedudukan wanita bersuami yang berisikan seorang perempuan yang telah menikah sejatinya telah menjadi satu dengan suaminya sehingga memerlukan nama keluarga suaminya di belakang namanya.
Namun, selain hal tersebut hukum mengenai kedudukan wanita bersuami juga "memaksa" para wanita untuk tidak terikat oleh suatu kontrak kerja, tidak dapat berhubungan dengan dunia pengadilan dalam arti mengajukan tuntutan, tidak dapat berpartisipasi dalam dunia bisnis hingga tidak boleh memiliki suatu "harta" berupa property tersendiri
Untuk itu, sekitar pertengahan tahun 1800-an, banyak wanita yang telah menikah namun tidak melegalkan status pernikahan mereka. Hal ini juga dibarengi dengan munculnya gerakan feminis yang menuntut hak milik (Property Acts) wanita yang telah bersuami di beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Dari aksi tersebut. para kaum wanita akhirnya dapat memperoleh hak-hak mereka seperti penandatanganan kontrak kerja, terlibat dalam bisnis dan perdagangan, serta dapat mengklaim kepemilikan properti.
Dari peristiwa itu, sejak era 1970, Mahkamah Agung Amerika Serikat akhirnya melakukan revisi salah satu isi Hukum di Negara Bagian Tennessee yang mengharuskan wanita untuk mencantumkan nama keluarga suaminya sebagai persyaratan menggunakan hak pilih dalam pemilu. Selain itu, pada tahun yang sama juga muncul awalan Ms. sebagai penegasan terhadap identitas seorang perempuan terlepas dari status pernikahannya.
Perkembangan Terkini
Berdasarkan penelitian di tahun 2011 yang dikutip oleh media The Atlantic menyebutkan sebanyak 72% para orang dewasa meyakini bahwa seorang wanita yang telah menikah harus melepaskan nama lajangnya dan setengah dari responden sepakat bahwa hal tersebut adalah legal di mata hukum.
Namun menurut keterangan Stephanie Coontz, Professor Bidang Pernikahan dan Sejarah Keluarga dari Evergreen State College menyebutkan tidak menutup kemungkinan hal yang sebaliknya (penggunaan nama keluarga istri dibelakang nama keluarga suami) terjadi seperti pada abad ke-12 hingga abad ke-15, tepatnya di Inggris yang menganut sistem kemasyarakatan hierarki dimana nama yang digunakan adalah mereka yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki sehingga tidak menutup kemungkinan apabila keluarga pihak wanita memiliki kedudukan lebih tinggi maka nama keluarga tersebut yang digunakan.
Berdasarkan penelitian dari Brian Powell, Professor di Bidang Keluarga dan Gender dari Indiana University menyebutkan bahwa para pria saat ini cenderung menyerahkan namanya sebagai nama keluarga.
Menurut penelitian Powell, hal ini juga tidak lepas dari stigma sosial yang menganggap apabila nama keluarga laki-laki tidak digunakan sebagai nama keluarga akan menunjukkan peran laki-laki yang kurang dominan dan lemah dalam rumah tangga.
Namun terlepas dari polemik tersebut, penentuan nama keluarga menjadi polemik bagi sebagian pasangan karena dengan menentukan nama keluarga baik diambil dari keluarga istri ataupun suami pastinya salah satu harus berkorban dengan menghilangkan identitasnya sebelum menikah.
Untuk itu, meskipun pernikahan merupakan ikatan suci namun bukan berarti menjadi pengikat bagi seseorang untuk melepaskan identitasnya sebelum menikah dan dalam hal ini dibutuhkan keberanian dari istri ataupun suami untuk tetap mempertahankan nama keluarga yang menjadi identitas masing-masing meskipun terikat janji pernikahan