Berdasarkan penelitian di tahun 2011 yang dikutip oleh media The Atlantic menyebutkan sebanyak 72% para orang dewasa meyakini bahwa seorang wanita yang telah menikah harus melepaskan nama lajangnya dan setengah dari responden sepakat bahwa hal tersebut adalah legal di mata hukum.
Namun menurut keterangan Stephanie Coontz, Professor Bidang Pernikahan dan Sejarah Keluarga dari Evergreen State College menyebutkan tidak menutup kemungkinan hal yang sebaliknya (penggunaan nama keluarga istri dibelakang nama keluarga suami) terjadi seperti pada abad ke-12 hingga abad ke-15, tepatnya di Inggris yang menganut sistem kemasyarakatan hierarki dimana nama yang digunakan adalah mereka yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam hierarki sehingga tidak menutup kemungkinan apabila keluarga pihak wanita memiliki kedudukan lebih tinggi maka nama keluarga tersebut yang digunakan.
Berdasarkan penelitian dari Brian Powell, Professor di Bidang Keluarga dan Gender dari Indiana University menyebutkan bahwa para pria saat ini cenderung menyerahkan namanya sebagai nama keluarga.
Menurut penelitian Powell, hal ini juga tidak lepas dari stigma sosial yang menganggap apabila nama keluarga laki-laki tidak digunakan sebagai nama keluarga akan menunjukkan peran laki-laki yang kurang dominan dan lemah dalam rumah tangga.
Namun terlepas dari polemik tersebut, penentuan nama keluarga menjadi polemik bagi sebagian pasangan karena dengan menentukan nama keluarga baik diambil dari keluarga istri ataupun suami pastinya salah satu harus berkorban dengan menghilangkan identitasnya sebelum menikah.
Untuk itu, meskipun pernikahan merupakan ikatan suci namun bukan berarti menjadi pengikat bagi seseorang untuk melepaskan identitasnya sebelum menikah dan dalam hal ini dibutuhkan keberanian dari istri ataupun suami untuk tetap mempertahankan nama keluarga yang menjadi identitas masing-masing meskipun terikat janji pernikahan