"Save Europe" yang berarti "Selamatkan Eropa" merupakan suatu sentimen anti-imigran yang baru-baru ini mencapai titik kritis di Eropa. seperti yang dibuktikan oleh protes di Sylt, Jerman, ketika para pengunjuk rasa meneriakkan "Auslnder raus" (orang asing keluar). Gerakan yang menamakan dirinya "Save Europe" ini berusaha untuk mempertahankan identitas dan budaya Eropa dari dugaan bahaya imigrasi. Namun, langkah-langkah tersebut menimbulkan pertanyaan tentang siapa dan untuk apa "Eropa" sebenarnya diselamatkan. Pertarungan yang lebih dalam untuk mendapatkan identitas, rasa memiliki, dan kekuasaan dalam masyarakat yang semakin beragam akan terlihat jelas ketika kita memahami dasar-dasar politik dan sosio-ekonomi dari gerakan ini. Dengan menggunakan perspektif sosiolog politik seperti Giddens, Castells, Habermas, Wimmer, dan Mudde, artikel ini secara kritis menganalisis gerakan "Save Europe" dalam pandangan Sosiologi Politik
Meskipun sentimen anti-imigran bukanlah hal baru di Eropa, sentimen ini semakin menguat akhir-akhir ini seiring dengan menguatnya partai nasionalis dan populis di Jerman. contohnya ialah "Alternative fr Deutschland" atau (AfD), yang dikenal dengan sikap anti-imigran dan Eurosceptic-nya, muncul sebagai partai nasionalis terkemuka di Jerman. Platformnya mencakup penentangan yang kuat terhadap kebijakan imigrasi dan peran Uni Eropa dalam pemerintahan Jerman. Partai ini mendapatkan momentum selama krisis pengungsi 2015 dan terus mengadvokasi pembatasan imigrasi dan mempromosikan nasionalisme Jerman.
Ketakutan akan kemerosotan budaya yang disebabkan oleh imigrasi dan globalisasi, yang telah diperparah oleh gejolak sosial dan ekonomi baru-baru ini, tercermin dalam pawai "Selamatkan Eropa", terutama di Sylt. Dengan mereduksi kesulitan sosial ekonomi yang rumit menjadi dikotomi etnis atau budaya, gerakan populis menggunakan kecemasan ini untuk menciptakan rasa kita versus mereka (Mudde & Kaltwasser, 2017).
Identitas dan Keterasingan di Eropa Modern
Menurut Anthony Giddens, modernitas telah mengubah identitas seseorang dan sering kali membuat mereka merasa "tercerabut" dari lingkungannya (Giddens, 1991). Terutama di daerah-daerah kecil atau terisolasi, percampuran budaya yang dibawa oleh globalisasi dapat menyebabkan kelompok-kelompok dominan merasa seolah-olah kehilangan identitas mereka. Keterasingan ini terlihat dalam protes di Sylt, di mana penduduk khawatir bahwa masuknya imigran yang mereka anggap tidak memiliki nilai-nilai yang sama atau tidak menghargai mereka akan menyebabkan mereka kehilangan identitas Jerman. Dengan slogan "Selamatkan Eropa", para demonstran ingin mengembalikan apa yang mereka anggap sebagai identitas yang terancam.
Populisme sebagai Kekuatan untuk Mobilisasi
Menurut Mudde, teori-teori populisme memberikan wawasan tentang sentimen di balik kampanye seperti "Selamatkan Eropa". Subjek imigrasi terkadang disajikan dalam istilah yang tajam dan polarisasi dengan bahasa populis, yang menggambarkan imigran sebagai bahaya bagi tatanan sosial dan stabilitas ekonomi (Mudde & Kaltwasser, 2017). Di tempat-tempat seperti Sylt, di mana penduduk setempat mungkin percaya bahwa pendapat mereka diabaikan demi kebijakan pro-imigran yang "benar secara politis", mentalitas kita-lawan-mereka ini sangat terasa. Kebencian dan kecemasan lokal disalurkan melalui populisme, yang menginspirasi orang-orang untuk melindungi apa yang mereka anggap sebagai warisan budaya mereka.
Fungsi Media dalam Meningkatkan Gerakan Sosial
Castells menekankan dalam Networks of Outrage and Hope bagaimana gerakan sosial dapat dipicu oleh media digital, yang menawarkan tempat untuk penyebaran ide dan mobilisasi yang cepat (Castells, 2012). Tagline "Selamatkan Eropa" menjadi populer di media sosial, menyatukan orang-orang yang berpikiran sama dari berbagai tempat. Gerakan ini mendapatkan keuntungan dari kehadiran online yang memperbesar keluhan yang dirasakan atau yang sebenarnya terhadap para imigran, menumbuhkan jaringan solidaritas global yang melintasi batas-batas negara. Teori Castells menggambarkan bagaimana komunitas online ini menginformasikan dan mengagitasi perdebatan imigrasi.
Membangun kebersamaan antar-komunitas minoritas dengan "batas etnis"
Teori Wimmer tentang pembuatan batas etnis menyatakan bahwa untuk mempertahankan kontrol atas kelompok minoritas, kelompok dominan sering kali membuat batas-batas sosial (Wimmer, 2013). Tuntutan para demonstran akan "Auslnder raus" di Sylt merupakan upaya yang jelas untuk menegakkan perbedaan antara orang Jerman "asli" dan orang asing. Dalam konteks di mana keseragaman etnis atau budaya dihargai, pendekatan ini merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk mempertahankan dominasi budaya. Menurut pengamatan Wimmer, gerakan-gerakan ini merupakan upaya untuk melestarikan kemurnian budaya yang dirasakan, sering kali dengan melarang individu yang dianggap "lain". Gerakan-gerakan ini bukan hanya tentang ekonomi atau keamanan.
Pengecualian di Ruang Publik dan Demokrasi
Dalam diskusinya tentang ranah publik, Jurgen Habermas menyoroti bahwa demokrasi idealnya mempromosikan wacana inklusif di semua kelompok (Habermas, 1996). Namun, kelompok-kelompok seperti "Save Europe" menggunakan manipulasi publik untuk memajukan tujuan-tujuan eksklusif mereka. Para demonstran di Sylt memupuk lingkungan di mana prasangka anti-imigran diterima, bahkan didorong, dengan bersatu di balik satu slogan yang memecah belah. Percakapan ini melemahkan cita-cita demokrasi tentang inklusivitas dengan menunjukkan bagaimana keyakinan populis sering kali mencegah perspektif minoritas untuk didengar di ranah publik.
Analisis terhadap Sanggahan dan Argumen Sanggahan
Para pendukung "Selamatkan Eropa" mungkin berpendapat bahwa tindakan mereka pro-Eropa dan bukannya anti-imigran, dengan menyatakan bahwa mereka memiliki hak untuk melindungi adat istiadat dan budaya mereka. Namun, sudut pandang ini mengabaikan efek menguntungkan dari imigrasi terhadap ekonomi dan budaya regional. Selain itu, berkonsentrasi pada pengucilan mengabaikan masalah ekonomi yang mendasar, yang merupakan konsekuensi dari dinamika global yang rumit, bukan karena imigrasi. Alih-alih mempromosikan kebersamaan, retorika populis justru memperparah perpecahan sosial dan mengalihkan perhatian dari solusi praktis.
KESIMPULAN
Slogan "Auslnder raus" dan protes "Selamatkan Eropa" merupakan cerminan dari keprihatinan yang sudah berlangsung lama mengenai identitas, rasa memiliki, dan dugaan menurunnya nilai-nilai budaya dalam masyarakat yang semakin mengglobal. Dengan menerapkan gagasan Giddens, Castells, Wimmer, Mudde, dan Habermas, kita dapat melihat bagaimana gerakan-gerakan tersebut menciptakan batas-batas yang pada akhirnya memecah belah masyarakat, di samping mempertahankan identitas. Gerakan-gerakan semacam itu berisiko memecah belah Eropa daripada "menyelamatkannya", mengikis kohesi sosialnya dengan memupuk permusuhan dan marjinalisasi. Membangun komunitas yang inklusif di mana identitas yang berbeda dapat hidup berdampingan sambil menghormati tradisi dan lanskap multikultural yang terus berubah adalah kunci ketahanan sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H