Sewaktu melintas dermaga ada sesuatu yang menarik perhatian saya, tumpukan jala ikan, dan tali pancing yang berukuran besar. Tali pancing yang berwarna putih besar sepertinya untuk memancing ikan yang besar bukan?
Lantas saya bertanya, ” Itu yang tali pancing warna putih buat nangkep ikan apa?”,
Pak Ambi langsung menjawab, “Oh, itu biasanya buat nangkep hiu”,
“Hiu itu mahal, makanya nelayan juga nyari hiu buat dijual siripnya, harganya bisa jutaan”, Pak Ambi menambahkan.
Apa?? Bukannya hiu sudah tidak boleh ditangkap lagi? Bahkan kalau tidak salah sudah ada undang-undangnya yang melarang perbuatan itu. Pak Ambi pun katanya sudah tahu mengenai itu, mungkin saja para nelayan juga sudah tahu bahwa itu sudah dilarang, atau bisa jadi mereka belum tahu apa-apa karena tidak adanya sosialisasi. Aduh, berarti pemerintah kerjanya hanya membuat UU saja tanpa menjalankan UU tersebut dengan baik, mudah-mudahan saya salah.
Lokasi danau air tawar hanya berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai. Pada saat melewati tempat yang tepat dibelakang deretan rumah panggung, suasana berubah, dari yang sebelumnya asri dan bersih menjadi kotor dan tidak enak dipandang. Banyak sampah yang mengambang tak beraturan, air laut yang “terkurung” seperti kumpulan comberan yang menunggu untuk dibersihkan.
Kami pun tercengang, kaget dengan apa yang tadi dikatakan. Baru kali ini lah kami melihat realita pendidikan di daerah terpencil yang selama ini hanya melihatnya lewat berita. Bangunannya tidak besar seperti sekolah pada umumnya, terdiri dari 3 ruangan kelas untuk belajar.
Dilihat dari dalam, langit-langitnya sebagian sudah roboh, kursi dan meja terlihat berserakan dan tidak layak untuk dipakai. Tanah dan pasir sepertinya sudah menguasai permukaan lantai kelas, papan tulis sudah tidak berada ditempat yang seharusnya. Kalau suka menonton film horror, mungkin sekolah ini cocok dijadikan syuting film horror, mengerikan!