Perkembangan teknologi selama 20 tahun terakhir sangat pesat hingga mengakibatkan perubahan di berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satu perkembangan tersebut adalah hadirnya teknologi Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, yakni teknologi berupa sistem komputer yang dapat melakukan simulasi kecerdasan manusia untuk melakukan tugas atau pekerjaan tertentu yang umumnya dilakukan oleh manusia.[1]Â
Teknologi AI ini telah digunakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, yang salah satunya adalah penggunaan AI di kendaraan, khususnya mobil, yang menyediakan fitur self driving car, fitur yang membuat mobil dapat beroperasi secara otomatis, sehingga tidak membutuhkan manusia untuk mengoperasikannya.[2]Â
Kehadiran teknologi tersebut membuat pengoperasian kendaraan dinilai lebih aman, karena program AI pada mobil otonom dapat diprogram untuk mengoperasikan kendaraan dengan aman dan patuh terhadap lalu lintas, sehingga memperkecil kemungkinan kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat human error (kelalaian manusia) atau pelanggaran berkendara yang masih banyak terjadi, sebagaimana menurut data Polda Metro Jaya, yakni telah terjadi sebanyak 6000 kasus kecelakaan lalu lintas di wilayah hukum Polda Metro Jaya sejak Januari hingga Agustus 2022.[3] Kelebihan fitur mobil otonom ini tentu saja berdampak besar bagi kehidupan manusia, bahkan menimbulkan potensi terjadinya kondisi di mana semua mobil di jalanan akan dioperasikan oleh AI, bukan oleh manusia lagi.
 Namun, setiap ciptaan manusia tidaklah jauh dari ketidaksempurnaan. Mobil otonom dengan AI yang diklaim aman dan terpercaya tersebut masih memiliki kemungkinan untuk mengalami kegagalan atau kesalahan sistem yang berujung kepada kecelakaan. Hal ini telah terbukti dengan kecelakaan yang telah terjadi yang melibatkan Elaine Herzberg, warga negara Amerika Serikat, di Tempe , Arizona, Amerika Serikat pada Maret 2018.Â
Natioal Transportation Safety Board (NSTB), yakni otoritas keamanan transportasi Amerika Serikat yang menginvestigasi kecelakaan tersebut menyatakan adanya kegagalan perangkat lunak pada mobil otonom yang digunakan, yakni kegagalan mengenali objek.[4]
Â
Dalam kasus kecelakaan lalu lintas normal, yakni kecelakaan yang diakibatkan oleh kendaraan yang dioperasikan oleh manusia, telah jelas pihak yang bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan kecelakaan tersebut, baik kecelakaan tersebut diakibatkan oleh kesengajaan, maupun kelalaian. Namun, dalam hal kasus yang melibatkan mobil otonom, muncul suatu masalah mengenai siapa yang harus bertanggung jawab perdata atas kecelakaan yang diakibatkan oleh AI pada mobil otonom yang menimbulkan kerugian material bahkan hilangnya nyawa?
 Jika mendengar pertanyaan tersebut secara sekilas, pendapat umum yang akan muncul pastilah akan menyatakan pihak pencipta AI mobil otonom tersebut yang harus bertanggung jawab, karena kecelakaan tersebut pada nyatanya diakibatkan oleh AI dari mobil otonom tersebut. Pendapat ini kian menguat dengan hadirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK) dalam Pasal 19 ayat (1) yang intinya menegaskan tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen yang ditimbulkan akibat penggunaan barang atau jasa yang dijual. Namun, terhadap hal ini, muncul juga pendapat yang berbeda berdasarkan doktrin vicarious liability dalam Pasal 1367 alinea pertama KUH Perdata yang menyatakan bahwa orang juga bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh barang yang berada di dalam pengawasannya, sehingga pendapat ini menyatakan bahwa kecelakaan mobil otonom menjadi tanggung jawab orang yang menggunakan mobil tersebut sebagai orang yang mengawasi beroperasinya mobil tersebut. Terhadap perbedaan tersebut, muncul perdebatan terhadap siapa yang seharusnya bertanggung jawab secara perdata terkait kecelakaan mobil otonom.
Namun terhadap perdebatan tersebut, penulis mencoba melakukan pendekatan dengan melihat fakta setiap kasus kecelakaan yang menjadi hal yang penting untuk menentukan pihak yang bertanggung jawab atasnya. Hal ini dikarenakan, dasar ketentuan yang digunakan dalam setiap pendapat tersebut memiliki persamaan, yakni mengatur mengenai pengecualian terkait pembatasan tanggung jawab. Dalam Pasal 27 UU PK, diatur mengenai pembatasan tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU PK, yang salah satunya adalah pelaku usaha tidak bertanggung jawab apabila terdapat kelalaian yang diakibatkan konsumen.Â
Di sisi lain, Pasal1367 KUH Perdata sendiri dalam alinea keempatnya telah mengatur pembatasan tanggung jawab orang atas kerugian akibat barang yang diawasinya, yakni apabila orang tersebut membuktikan bahwa perbuatan yang mengakibatkan kerugian tersebut tidak dapat dicegah oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab atasnya, atau dengan kata lain apabila orang tersebut membuktikan bahwa perbuatan atas barang yang diawasinya yang mengakibatkan kerugian berada di luar kuasa orang tersebut.Â
Dari pengecualian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tingkatan keterlibatan antara AI mobil otonom dan manusia yang mengemudikannya sebagai konsumen dan orang yang mengawasi beroperasinya mobil tersebut menjadi penting, karena menentukan tingkat kesalahan yang berkontribusi terhadap kecelakaan mobil otonom, sehingga dapat ditentukan siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.
 Dalam meninjau masalah ini, Society of Automotive Engineers (SAE) telah memberikan klasifikasi terhadap tingkatan kendaraan otonom berdasarkan fitur dan keterlibatan pengemudi mobil otonom, yakni:[5]
Â
level 0, yakni kendaraan yang tidak terdapat teknologi otonom yang digunakan dalam suatu kendaraan, sehingga manusia sepenuhnya mengoperasikan kendaraan;
Â
level 1, yakni kendaraan yang telah memiliki teknologi otonom yang sangat ringan;
Â
level 2, yakni kendaraan memiliki teknologi otonom, namun memerlukan perhatian pengemudi terus-menerus;
Â
level 3, yakni kendaraan dapat beroperasi sendiri, namun memerlukan keterlibatan pengemudi dalam kondisi yang krusial;
Â
level 4, yakni kendaraan dapat beroperasi sendiri secara total, tetapi tetap memerlukan perhatian pengemudi dalam kondisi tertentu, seperti kondisi hujan yang mengganggu sensor kendaraan, kondisi jalan yang tidak memiliki garis marka jalan yang menjadi salah satu acuan utama pengoperasian mobil otonom oleh AI, dan keadaan lainnya yang membuat kerja AI mobil otonom terganggu; dan
Â
level 5, yakni kendaraan otonom yang secara total dapat beroperasi sendiri dalam setiap kondisi tanpa perlu perhatian dan kontrol dari manusia sama sekali.
Â
Mengacu dari pengklasifikasian di atas, dapat diketahui bagaimana tingkatan keterlibatan antara AI dengan manusia sebagai pengemudi dalam pengoperasian mobil otonom, sehingga dapat diketahui apakah suatu kecelakaan mobil otonom sepenuhnya adalah kesalahan sistem atau terdapat kelalaian pengemudi untuk mengawasi beroperasinya AI mobil otonom. Walaupun demikian, perlu juga diperhatikan mengenai teknis dari setiap tingkatan, karena menentukan apakah pengemudi dapat mencegah terjadinya kecelakaan tersebut sehingga terbebas dari tanggung jawabnya berdasarkan Pasal 1367 alinea 1 KUH Perdata. Sebagai contoh, terdapat kecelakaan mobil otonom level 3 yang masih memerlukan perhatian dan kontrol pengemudi, namun kecelakaan tersebut diakibatkan oleh kegagalan sistem dan terjadi sangat cepat sehingga dalam ukuran manusia normal, pengemudi tidak dapat mencegah kecelakaan tersebut. Dalam hal tersebut, pengemudi selayaknya dilepaskan dari tanggung jawabnya sebagai orang yang mengawasi barang berdasarkan Pasal 1367 alinea 1 KUH Perdata, karena kecelakaan tersebut tidak mungkin dalam ukuran wajar untuk dicegah oleh pengemudi yang bertanggung jawab atas mobil otonom tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H