Gadis mungil itu merajuk, celoteh kepada tubuhnya yang diselimuti wangi rongsokan, dan hangatnya remang-redup lampu jalanan, di bawah kolong jembatan.Â
      "Anjirr! Hidup gue gini amat, ya Allah        cabut aja nyawaku, 'napa?!"Â
Ia berusaha melempar besi tua ke arah tumpukan sampah. Bau menyengat, mencuat dari kerumunan lalat yang sedang berpesta. Luapan amarahnya belum juga reda sejak raga yang selalu menemaninya diambil saudari kematian. Â Ia sangat merindukan Lela, sosok yang tangguh, berani, optimis dan pantang menyerah.Â
Di lebaran kemarin mereka saling bermaaf-maafan, sholat berjamaah sambil meneguhkan janji mereka untuk meneruskan usaha ayah mengumpulkan barang-barang bekas. Perayaan sederhana di samping tiang beton jalan tol, bersama warga kolong lainnya. Wajah fitrah menghiasi canda-tawa Pak Oleng, Bu De Marni, Ajep, Arfan, dan lainnya. Sejenak mereka melupakan teriknya aspal dan deru knalpot dari truk-truk, makian pejalan kaki, omelan dari ibu-ibu kompleks, serta lelehan keringat yang setia menemani petang mereka saat pulang membawa panenan.Â
Di hari itu, Lela membelikan Nur sebuah hijab baru yang didapatnya dari pinggiran pasar Koja. Harganya tidak sampai seratusan. Hasil dari menabungnya selama bulan Ramadhan.Â
 "Pakailah ini, Nur! Kulihat punyamu       udah bolong, gk layak lagi kamu pakai. Tapi Ingat ya, jan sampe satu hari pun kau lepas dari kepalamu"Â
Sambil menangis, Nur mengenakan hijab pemberian kakaknya. Ia merasa bangga dan bernazar dalam hatinya akan mengembalikan kebaikan Lela apabila usaha rongsokan mereka berjalan lancar.Â
 "Terima kasih Kak, saya berjanji".Â
Mereka pun berpelukan. Lela tampak berbinar, matanya berkaca-kaca sesaat melihat penampakan adiknya. 'Cantik banget adikku', celetuknya. Nur tak bisa menyembunyikan sumringahnya mendengar pujian itu.
Sesaat berselang, Lela berpamitan hendak membelikan sesuatu untuk dimakan bersama di lebaran hari kedua, besok. Lela berjalan menyusur kolong jembatan, kemudian ke gang kecil sebelum ia menemukan jalan besar. Ia kemudian ke seberang jalan menuju toko kue yang ia kunjungi sekali setahun.Â
Uang sisa membeli hijab ia gunakan untuk menawar kue yang paling enak. Setidaknya beberapa lapisan; cukup untuk dimakan dua hari ke depan, Idul Fitri. Nur yang tak menyadari kepergian Kakaknya selepas Maghrib mulai mencarinya. Sudah hampir makan malam namun kakaknya tidak juga kembali. Ia menanyakan Pak Oleng tentang keberadaannya. Ia pun tidak sempat melihat kemana perginya. Beberapa warga dia tanyai. Bu De Marni ternyata melihatnya dari kejauhan tadi, Â saat ia melewati gang kecil menuju jalan besar.Â
"Tidak biasanya si Kaka keluar jam segini", Gumamnya.Â
Ia lalu mengambil langkah menuruti jalan yang ditunjuk Bu De Marni. Lewati gang kecil, lalu ketemu jalan besar. Tetap. Ia tidak tampak. Nur berinisiatif menanyakan orang-orang yang dijumpainya. Nihil. Mungkin si Kaka perginya pas Magrib, makanya tidak seorangpun melihatnya. Ia mencari sendiri alasan kenapa orang-orang tidak melihatnya. Barangkali.Â
Ia kemudian memberanikan diri untuk menyeberang ke jalan besar yang lain. Ia mesti menunggu lalu lintas berjarak agar bisa melewati jalan dua jalur itu. Bukan halangan baru baginya. Itu makanan harian mereka saat berjibaku mengumpulkan rejeki dari orang-orang bernasib untung. Seperti biasa, dengan mudah ia sampai di seberang.Â
Ia menderap beberapa langkah. Melewati beberapa warung Madura dan bangunan-bangunan toko, keramaian rumah makan seafood, pecel lele, bakso, warteg, penuh dengan orang-orang yang menikmati Idul Fitri bersama keluarga mereka. Pemandangan biasa bagi matanya.Â
Namun, kerumunan orang-orang di lampu merah itu berhasil mencuri pandangannya. Ia mengira itu pasti keributan massa yang menghakimi penjambret yang biasa beraksi saat malam. Ketika orang-orang hendak turun dari JPO menuju lampu merah. Tempat strategis bagi mereka untuk beraksi. Nur mendekati kerumunan itu. Tak didengarnya jeritan ampunan, atau teriakan dari orang-orang sekitar. Mereka hanya melongo, melihat sepintas lalu pergi, dan kerumunan berganti dengan pandangan orang-orang lain yang hendak menyebrang.Â
"Ada apa ya, bang?" Ia bertanya.Â
"Kecelakaan Neng, duh. Kasian banget ya.."Â
Sejurus, Nur melihat lebih dekat lagi. Ia penasaran. Beberapa kertas dari koran bekas dan kardus menutupi mayat yang tergeletak itu. Persis di pinggir, di samping trotoar. Ia tak sempat mengucapkan inalillahi.....
Ya, kerudung merah mencuat dari sela-sela tumpukan kertas dan kardus itu. Nur tiba-tiba kaku, lalu badannya lemas, mulutnya menahan kikuk, ia tak berucap sekata pun, orang-orang tak ia pedulikan lagi, rasa lapar yang ia tahan tetiba hilang. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan.Â
Pelukan, hijab dan pesan di hari Raya itu ternyata menjadi kenyataan pahit bagi Nur. Hari-hari kini, ia tidak lagi dapat tidur dengan pulas. Selera makannya hilang, keinginannya untuk mengumpulkan rongsokan menjadi lalai. Seakan lupa janji ayah dan nazar yang pernah dibuatnya. Ayah, Lela, dan dirinya seakan terkubur oleh saudari kematian.
"Bangsat!!"Â
Jadi kata yang sering mengayun dari bibir yang pernah berterima kasih pada raga itu.Â
Jauh sebelum ini semua, Nur kecil pernah bermimpi untuk menjadi orang terkaya di kompleks kolong. Ia pernah bertekad di balik pakaian lusuhnya-saat bersama ayah dan Lela- untuk membelikan ayah gerobak baru yang lebih gede. Biar panenan semakin banyak dikumpulkan, nantinya uang hasil kiloan bisa sisihkan untuk ditabung. Lumayan kelebihan tujuh ribu perhari lama-lama juga akan banyak dan menumpuk. Di akhir tahun tumpukan itu melebihi  rongsokan depan pintu masuk. Begitu pikirnya.Â
Kini, bayangan kematian ada di depan mata. Tubuh mungil Nur seakan tak bisa diajak bicara. Sekedar menggerakkan jemari sakitnya minta ampun. Mata sayup menahan kantuk sudah berat untuk dimaklumi. Ia tak berani tidur. Ia takut pada saudari kematian. Kalau-kalau ia datang lalu menindih, mengambil jantung dan helaan nafas terakhirnya.
Dengan sisa tenaga yang ada, dengan hati yang masih berbalut perih, ia menjulurkan tangannya mengambil tasbih, digenggamnya, dia bersimpuh tak beraturan.
"Ya Allah, berikanlah tempat yang layak bagi hambamu Lela dan Ayah. Semoga mereka Husnul khatimah, diampuni segala dosa-dosa, dan diterima di sisi Mu"Â
Buliran tasbih jatuh berserakan.Â
Cahayanya melewati kolong menembus langit.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI