Mohon tunggu...
jonansaleh
jonansaleh Mohon Tunggu... Ilustrator - Hands are the second thought

Tangan adalah pena dari pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nur: Kepada Saudari Kematian

24 April 2024   19:51 Diperbarui: 25 April 2024   11:55 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Uang sisa membeli hijab ia gunakan untuk menawar kue yang paling enak. Setidaknya beberapa lapisan; cukup untuk dimakan dua hari ke depan, Idul Fitri. Nur yang tak menyadari kepergian Kakaknya selepas Maghrib mulai mencarinya. Sudah hampir makan malam namun kakaknya tidak juga kembali. Ia menanyakan Pak Oleng tentang keberadaannya. Ia pun tidak sempat melihat kemana perginya. Beberapa warga dia tanyai. Bu De Marni ternyata melihatnya dari kejauhan tadi,  saat ia melewati gang kecil menuju jalan besar. 

"Tidak biasanya si Kaka keluar jam segini", Gumamnya. 

Ia lalu mengambil langkah menuruti jalan yang ditunjuk Bu De Marni. Lewati gang kecil, lalu ketemu jalan besar. Tetap. Ia tidak tampak. Nur berinisiatif menanyakan orang-orang yang dijumpainya. Nihil. Mungkin si Kaka perginya pas Magrib, makanya tidak seorangpun melihatnya. Ia mencari sendiri alasan kenapa orang-orang tidak melihatnya. Barangkali. 

Ia kemudian memberanikan diri untuk menyeberang ke jalan besar yang lain. Ia mesti menunggu lalu lintas berjarak agar bisa melewati jalan dua jalur itu. Bukan halangan baru baginya. Itu makanan harian mereka saat berjibaku mengumpulkan rejeki dari orang-orang bernasib untung. Seperti biasa, dengan mudah ia sampai di seberang. 

Ia menderap beberapa langkah. Melewati beberapa warung Madura dan bangunan-bangunan toko, keramaian rumah makan seafood, pecel lele, bakso, warteg, penuh dengan orang-orang yang menikmati Idul Fitri bersama keluarga mereka. Pemandangan biasa bagi matanya. 

Namun, kerumunan orang-orang di lampu merah itu berhasil mencuri pandangannya. Ia mengira itu pasti keributan massa yang menghakimi penjambret yang biasa beraksi saat malam. Ketika orang-orang hendak turun dari JPO menuju lampu merah. Tempat strategis bagi mereka untuk beraksi. Nur mendekati kerumunan itu. Tak didengarnya jeritan ampunan, atau teriakan dari orang-orang sekitar. Mereka hanya melongo, melihat sepintas lalu pergi, dan kerumunan berganti dengan pandangan orang-orang lain yang hendak menyebrang. 

"Ada apa ya, bang?" Ia bertanya. 

"Kecelakaan Neng, duh. Kasian banget ya.." 

Sejurus, Nur melihat lebih dekat lagi. Ia penasaran. Beberapa kertas dari koran bekas dan kardus menutupi mayat yang tergeletak itu. Persis di pinggir, di samping trotoar. Ia tak sempat mengucapkan inalillahi.....

Ya, kerudung merah mencuat dari sela-sela tumpukan kertas dan kardus itu. Nur tiba-tiba kaku, lalu badannya lemas, mulutnya menahan kikuk, ia tak berucap sekata pun, orang-orang tak ia pedulikan lagi, rasa lapar yang ia tahan tetiba hilang. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. 

Pelukan, hijab dan pesan di hari Raya itu ternyata menjadi kenyataan pahit bagi Nur. Hari-hari kini, ia tidak lagi dapat tidur dengan pulas. Selera makannya hilang, keinginannya untuk mengumpulkan rongsokan menjadi lalai. Seakan lupa janji ayah dan nazar yang pernah dibuatnya. Ayah, Lela, dan dirinya seakan terkubur oleh saudari kematian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun