"Bangsat!!"Â
Jadi kata yang sering mengayun dari bibir yang pernah berterima kasih pada raga itu.Â
Jauh sebelum ini semua, Nur kecil pernah bermimpi untuk menjadi orang terkaya di kompleks kolong. Ia pernah bertekad di balik pakaian lusuhnya-saat bersama ayah dan Lela- untuk membelikan ayah gerobak baru yang lebih gede. Biar panenan semakin banyak dikumpulkan, nantinya uang hasil kiloan bisa sisihkan untuk ditabung. Lumayan kelebihan tujuh ribu perhari lama-lama juga akan banyak dan menumpuk. Di akhir tahun tumpukan itu melebihi  rongsokan depan pintu masuk. Begitu pikirnya.Â
Kini, bayangan kematian ada di depan mata. Tubuh mungil Nur seakan tak bisa diajak bicara. Sekedar menggerakkan jemari sakitnya minta ampun. Mata sayup menahan kantuk sudah berat untuk dimaklumi. Ia tak berani tidur. Ia takut pada saudari kematian. Kalau-kalau ia datang lalu menindih, mengambil jantung dan helaan nafas terakhirnya.
Dengan sisa tenaga yang ada, dengan hati yang masih berbalut perih, ia menjulurkan tangannya mengambil tasbih, digenggamnya, dia bersimpuh tak beraturan.
"Ya Allah, berikanlah tempat yang layak bagi hambamu Lela dan Ayah. Semoga mereka Husnul khatimah, diampuni segala dosa-dosa, dan diterima di sisi Mu"Â
Buliran tasbih jatuh berserakan.Â
Cahayanya melewati kolong menembus langit.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H