Kalau ditanya untuk memperbaiki citra bangsa harus lewat mana terlebih dahulu, ya tidak ada yang tahu jalan mana yang mesti ditempuh terlebih dahulu bahkan presiden RI sekalipun, silahkan Anda tanya kalau tidak percaya. Jawaban yang akan kita terima ya akan sama dengan apa yang hati kita katakan “dari diri sendiri, dari apa yang kita lihat, dan dari sekitar kita.” Di situ akan terlihat pula bedanya antara ‘pikiran vs tindakan’ atau ‘mikir doang vs turun tangan’ dan juga perbedaan antara ‘ucapan vs tulisan’ atau ‘bacot doang vs berkarya’.
(Jangan Menjadi) Sarjana di Atas Kertas
Pada 8 Februari 2014 lalu, rektor UI memindahkan tali di kepala toga saya dari kiri ke kanan dan resmi pula lah hari itu saja menjadi sarjana ekonomi beserta ribuan rekan lainnya. Jauh hari sebelumnya, sebagian besar kami harus mengerjakan skripsi dan mempertahankannya di depan para dosen penguji alias sidang skripsi.
Saya lulus terlambat satu semester, karena satu dan lain hal. Ketika di semester sembilan banyak teman yang berpesan “Jangan sok ngerjain skripsi idealis deh lo men, cari yang gampang-gampang aja. Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai.”
Saya bukan orang yang seperti itu, kalau tidak suka ya tidak suka. Kalau suka, kalau cinta, maka akan saya lakukan sungguh-sungguh. Kemudian hari saya memutuskan untuk meneliti tentang pariwisata Indonesia, saya ingin mengetahui hal-hal apa saja yang membuat wisatawan, baik dalam negeri maupun mancanegara, ingin kembali lagi mengunjungi suatu tempat wisata di Indonesia. Di samping itu, saya juga mencari tahu, hal-hal apa saja yang membuat para wisatawan mau merekomendasikan Indonesia, atau salah satu tempat wisata di Indonesia kepada yang lain.
Kemudian lahirlah satu kesimpulan bahwa, orang akan kembali ke satu tempat wisata dikarenakan ia merasa nyaman, rileks, santai, dan merasa bahagia ketika berada di sana. Bukan hal-hal seperti keindahan alam, bukan juga keunikan yang berada di satu daerah wisata tersebut. Jadi orang mengunjungi Yogjakarta bukan karena candi Borobudur, melainkan karena experience atau pengalamannya. Ia merasa nyaman di Yogjakarta. Begitu juga Bukittinggi, bukan karena Jam Gadang atau Ngarai Sianoknya, melainkan karena di Bukittinggi para wisatawan merasa bahagia.
Hal-hal berbau tali emosi itulah yang juga membuat wisatawan merekomendasikan kepada orang lain. Sementara tentang Borobudur dan Jam Gadang, itu semua berbau informasi dan keunikan. Untuk melihat Borobudur dan Jam Gadang, perlukah kita mengunjungi langsung? Tidak. Untuk tahu penginapan paling murah di Lombok haruskah kita pergi ke Lombok terlebih dahulu? Untuk mengetahui kesenian dan tarian Bali apakah kita perlu ke Bali? Untuk menikmati segelas kopi Aceh haruskah kita pergi ke Tanah Rencong itu? Jawaban untuk kesemuanya adalah: tidak.
Hari ini kita punya google, punya youtube, semua informasi dapat kita temukan melalui ujung jari kita. Tapi ada yang tidak bisa kita temukan yaitu emosi. Apakah kita sudah cukup bahagia apabila hanya menghampiri rumah makan Padang di kota kita hanya untuk menjawab kerinduan pada Bukittinggi? Apa kita sudah merasa damai hanya dengan melihat saluran-saluran youtube tentang Pulau Dewata? Toh ketika di kelompok pergaulan kita hendak berencana berwisata, maka bukan “apa sih yang ada di sana?” lah yang menjadi faktor penentu jadi berangkatnya atau tidak, melainkan “di sana asik gak coy?” Karena pertanyaan “ada apa sih yang ada di sana?” itu dapat ditemukan jawabannya di mana-mana. Tapi, pertanyaan “di sana asik gak coy?” sekalipun tidak dapat dijawab oleh google.
Di akhir sesi presentasi sidang mempertahankan skripsi waktu itu, setelah sesi tanya jawab, saya angkat bicara. “Pak, Buk. Saya tidak mau rekomendasi ini hanya di atas kertas saja. Saya hendak memutarkan sebuah video, yang paling tidak cukup menggambarkan kesimpulan dari skripsi saya bahwa Indonesia hendaknya fokus pada kampanye afeksi (emosi).”
Berikut videonya à [https://www.youtube.com/watch?v=RRPTKa6nr5M]
Tangangah (terpana dan terdiam) lah para dosen penguji dibuatnya.