Mohon tunggu...
Vox Pop Pilihan

Ahok: Awal Mula Era Independen?

12 Maret 2016   19:51 Diperbarui: 13 Maret 2016   16:48 1228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa ini kalau bukan hendak membangkitkan partisipasi warga? Ya, Ahok ingin warga DKI berpartisipasi aktif dengan segala cara untuk membangun kota yang mereka cintai, Jakarta. Kalau dulu semasa Jokowi (Ahok terlibat di dalamnya) yang dihidupkan adalah partisipasi pemilih se-Indonesia. Ini berbeda, lebih spesialis, yang dibangkitakan bukan hanya partisipasi pemilih, tetapi partisipasi warga. Ini sesuatu yang lain, lebih rumit dan kompleks sekaligus sederhana. 

Jika semua warga dki jaga kebersihan, tentu tak perlu khawatir banjir, karena got tak sumbat lagi. Ini sederhana, tetapi menghidupkannya rumit. Ahok ingin itu. Ia inginkan warga dki bangkit untuk membangun dirinya sendiri. Menghadapi teror psikologis yang menggunakan isu SARA, Ahok tak peduli, ia hanya inginkan warga dki tampil trengginas berjiwa merdeka nasionalis independen. Ini Jakarta Bung. Miniatur Indonesia yang beragam dan berbeda-beda. Ridwan Kamil juga sudah angkat suara, bahwa yang memainkan isu SARA adalah orang tolol tak paham Indonesia.

Inilah terobosan inovasi politik rakyat ala Ahok, menciptakan momen perubahan dengan cara menjadi wadah berkumpul bagi segenap kontribusi, partisipasi, dan transformasi yang berasal dari warga dki dan untuk warga dki. Sebagai lokus berkumpul segenap kecerdasan rakyat, Ahok menjelma menjadi semacam perahu rakyat yang berbahaya dan mengancam eksistensi politik kartel. Dan kebetulan sekali, fenomena ini saban hari selalu disiarkan ke seluruh daerah di Indonesia. Partai raksasa itu pun keder dan panik. Efeknya sewaktu-waktu bisa jadi meng-Indonesia, sebuah era independen menggantikan era reformasi. Ajib-ajib dah...

Berbeda dengan regulasi politik kartel yang dikomandoi parpol dengan ketum yang kurang piknik, lingkarannya cuma diisi kerabat-kerabat yang tidak layak sebagai tokoh. role model dan pemimpin. Dalam nuansa politik kartel dibutuhkan sandiwara, semacam pesta dansa. Ada digelar bahasa yang sopan, pakaian yang rapi, tata krama, gestur yang hormat dan patuh kepada ketum, cium tangan kepada kerabat ketum, puja puji dari bawah ke atas, kebal kritik atau malah sama sekali tak ada kritik, struktur yang tertata dari dpp hingga ranting. Ya parpol seperti raksasa, seperti halnya perusahaan besar. "Perubahan jaman membuktikan bahwa salah satu penyebab bangkrutnya perusahaan jepang seperti Toshiba, Panasonic, Sharp dll adalah akibat generasi tua yang ngotot mimpin perusahaan ini (merasa diri lebih senior, lebih berpengalaman, lebih hebat, padahal mereka tidak sadar bahwa perkembangan teknologi yang cepat butuh orang-orang muda yang punya kreatifitas dan daya inovatif tinggi)", mengutip kalimat Yohanes Surya hari ini.

Mengingat ekskalasi sentimen yang merebak tak terkendali, parpol sebesar pdip menurunkan kartu-as bernama Risma. Kekuatan mesin partai yang aduhai dibangga-banggakan Risma. Dengan gagap, Risma menerangkan kepada publik bahwa tidak ada itu mahar politik. Semacam pledoi kepada raksasa. Siapa yang tidak paham akan hal ini, kok Risma tega mengucapkan kalimat bernada kebohongan kecil dengan mengaku-ngaku parpol tanpa mahar? Emangnya parpol itu bank yang bisa mengucurkan pinjaman membiayai cost politic? Lama-lama Risma ini terkooptasi dan tak lagi menarik.

Kita semua tahu biarpun gak paham amat, bahwa parpol tak bisa berjalan tanpa kepentingan kartel. Kartel adalah sumber bahan bakar pembiayaan parpol. Dari mana dana menggerakkan raksasa sebesar itu? Lalu apa itu kartel? Anggap saja gerombolan mafia kelas wahid yang kepentingan bisnisnya bernilai triliunan. Bagi kartel, kepentingan rakyat adalah soal-soal belakangan. Rakyat adalah sebagai konsumen untuk jaringan bisnis mereka. Jangan sampai rakyat ikut berbisnis. 

Bisnis kelompok lebih utama dan terutama bagi mereka. Mereka ini adalah pengusaha yang mengandalkan kekuatan uang dan kekuasaan jaringan untuk menciptakan bisnis, mereka ini adalah pemain properti kelas kakap, pemain retail raksasa, supplier sekelas eksportir dan importir segala kebutuhan di Indonesia, penguasa armada distribusi baik darat, pelabuhan, dan udara. Pokoknya kegiatan ekonomi yang besar-besar dan skala raksasa, apa lagi yang belum dikuasai kartel di negeri ini?

Berbeda dengan entrepreneur yang mengandalkan kecerdasan dan inovasi dalam melahirkan bisnis inovasi baru, seperti gojek, grabtaksi, uber, bisnis onlen, culturepreneurship, dll.

Apa yang dilakukan Ahok adalah sebuah inovasi dengan menarik garis batas dari kekuasaan kartel dan bergabung dengan rakyat jelata. Hal ini cukup telak ketika Ahok memulai permainan dengan pdip. Ahok mengandalkan TemanAhok sebagai organisasi kesatuan. Sebagai wadah berkumpul kecerdasan dan inovasi, Ahok paham bagaimana melawan kartel dan parpol. Ia memainkan irama perlawanan itu, menciptakan momen pembaharuan, mengajak partisipasi warga dki.

Seturut itu, mengalirlah simpati warga negara republik dari segala penjuru. Ahok adalah penerobos segala lapisan permainan psikologis berbau suku, ras, agama. Ahok adalah pendobrak tatanan usang. Ahok adalah perobek tradisi bobrok dan kolot. Ahok adalah spirit generasi muda bangsa Indonesia menghadapi transisi jaman. Ia adalah sebuah jalan tol yang menerabas segala sekat kelas sosial. Ia nyaris terbit sebagai role model Generasi Nasionalis Independen RI.

Bila Ahok cukup kuat, bila Ahok tak henti berinovasi, maka ia akan sampai kesana. Memang Ahok tak menjanjikan masa depan, ia bukan Futurist. Tetapi Ahok menyuguhkan solusi atas masalah kekinian, dengan gerak cepat, dengan semangat membara, ia sungguh Now-ist.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun