Mohon tunggu...
Joko Yuliyanto
Joko Yuliyanto Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Penulis buku dan penulis opini di lebih dari 150 media berkurasi. Penggagas Komunitas Seniman NU dan Komunitas Partai Literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jakarta dan Potret Budaya Islam Nusantara

16 Mei 2023   12:00 Diperbarui: 16 Mei 2023   12:07 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan rupanya tidak menurunkan popularitas DKI Jakarta sebagai metronom ekonomi nasional. Potret Jakarta sebagai simbol bhineka tunggal ika tercermin dari banguan peradaban keanekaragaman suku, kepercayaan, dan pandangan hidup. Pluralitas yang menyerap nilai dan norma dari berbagai daerah di Indonesia seharusnya menjadikan Jakarta sebagai miniatur nusantara.

Namun, pandangan negatif tentang Jakarta masih melekat akibat politik identitas beberapa tahun lalu yang berdampak polarisasi di masyarakat hingga saat ini. Jakarta masih menjadi primadona politik untuk mengangkat citra tokoh dan kelompok tertentu. Selain peran media massa (yang mayoritas berdomisili di Jakarta) sebagai ujung tombak elektabilitas dan popularitas.

Budaya multikultural menjauh dari citra Jakarta ketika sensitivitas politik dan agama masih menjadi "produk jual-beli demokrasi". Risiko kehilangan kebudayaan asli (betawi) dan lebih terlihat sebagai kelompok homogen dalam menentukan sikap politik dan keagamaan. Ketidakmampuan melindungi Jakarta dari benturan budaya dan sosial masyarakat menyebabkan kota tersebut hanya dijadikan "jajahan" imigran dari berbagai daerah di Indonesia.

Bahkan, kebetawian Jakarta sudah tidak lagi ramai dipromosikan seperti kuliner kerak telur, semur jengkol, hingga lontong sayur. Demikian halnya dengan budaya seperti ondel-ondel, lenong, palang pintu, hingga tanjidor. Dominasi kelompok imigran berpengaruh terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat asli Jakarta. Anggapan kuno tentang budaya asal (daerah) yang membuat lunturnya kecintaan dan kebanggaan pada budaya lokal.

Dari ragam budaya dan latar belakang masyarakat, seharusnya melatih kedewasaan bersikap perihal perbedaan. Menjadi percontohan kota toleran tanpa sekat kesukuan, status sosial dan ekonomi, dan latar belakang pendidikan. Menjadikan Jakarta bukan hanya pusat industri, melainkan juga pusat kebudayaan.

Saat ini, masayarakat Jakarta, khususnya pemerintah daerah perlu membereskan masalah tata ruang seperti banjir dan kemacetan. Jakarta harus kembali menjadi rumah bagi imigran untuk dikenalkan budaya betawi, bukan malah memusnahkannya dan mengganti dengan produk budaya impor. Generasi muda punya tanggung jawab bagaimana mempromosikan kebudayaan daerah di era transformasi teknlogi digital.

Lompatan Kebudayaan

Ada hal yang meresahkan tentang nasib budaya bangsa. Variabel abstrak yang kurang diperhatikan banyak elemen masyarakat. Masih ambigu untuk mengukur kemajuan bangsa dari kualitas kebudayaannya. Dampaknya lunturnya kebudayaan bangsa yang ditandai dengan maraknya penggunaan teknologi digital. Membanjirnya informasi yang mempengaruhi transfigurasi kebudayaan.

Kecepatan laju teknologi memaksa semua generasi segera beradaptasi untuk dapat bertahan hidup. Kebudayaan Generasi Baby Boomers hingga Generasi Alpha dituntut setara. Penghormatan terhadap pengalaman generasi sebelumnya tidak lagi menjadi parameter kemajuan bangsa. Sementara generasi lama tertatih mengikuti pola hidup dan kebudayaan kekinian.

Lompatan kebudaayaan terjadi karena ketidaksiapan mental masyarakat terhadap kemajuan teknologi. Sebelum era teknologi (fase industri), perubahan kebudayaan masih bisa diikuti. Guru masih menjadi panutan dalam membagikan ilmu. Saat ini, tersebarnya berbagai informasi pengetahuan mereduksi kualitas guru hingga orang tua.

Anak-anak meninggalkan ajaran kebudayaan generasi sebelumnya. Menentukan masa depannya sendiri dengan mengaktualisasikan diri dalam industri digital. Peluang yang ditawarkan dunia maya mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat tentang pandangan nilai, norma, dan adat. Moralitas sedikit diabaikan untuk lebih berfokus pada kepentingan ekonomi.

Kemudahan akses informasi dan pekerjaan mengurangi esensi proses dan mementingkan hasil. Sikap empati (memanusiakan manusia) digusur dengan gencaran arus kebudayaan asing. Masyarakat dialihkan dari kepentingan bangsa menjadi lebih egois dan pragmatis. Tergusurnya budaya bangsa merupakan keniscayaan dari melimpahnya informasi dan cepatnya laju teknologi.

Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian yaitu kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat dan seterusnya.

Unsur-unsur kebudayaan yang dapat dipisahkan dari masyarakat merupakan perubahan-perubahan dalam kebudayaan yang tidak perlu mempengaruhi sistem sosial. Seorang sosiolog lebih memperhatikan perubahan kebudayaan yang bertitik tolak dan timbul dari organisasi sosial yang mempengaruhinya. Pendapat tersebut dapat dikembalikan pada pengertian sosiolog tersebut tentang masyarakat dan kebudayaan.

Kultur menurut Mac Iver adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni, kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan. Sebuah potret, novel, drama. film, permainan filsafat dan sebagainya termasuk kultur karena hal hal ini secara langsung memenuhi kebutuhan manusia. Mac Iver mengeluarkan unsur material dari ruang lingkup kultur. Perubahan-perubahan sosial dikatakan sebagai perubahan-perubahan dalam hubungan sosial dan sebagai perubahan terhadap keseimbangan hubungan sosial.

Budaya berkaitan dengan interaksi sosial. Keberadaan alat komunikasi sudah berubah fungsi menjadi alat eksistensi. Meninggalkan norma kebudayaan dan terlibat dalam narasi globalisasi. Budaya tidak lagi menjadi pedoman hidup menghadapi tantangan zaman, selain ikut terpengaruh dalam ruang artifisial.

Selain kemampuan beradaptasi, manusia modern juga harus punya peran berbeda dari keberadaan teknologi kecerdasan buatan. Keterlambatan memahami perkembangan teknologi akan menggusur nilai budaya. Agama dan moralitas menjadi timpang, sementara pegangan hidup menggiring manusia pada ketidakpastian. Dampak selain terkikisnya kebudayaan adalah meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.

Nasib Budaya Betawi

Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), terdapat karya yang telah ditetapkan menjadi warisan budaya takbenda Indonesia sejumlah 1.728 pada tahun 2022. Budaya takbeda meliputi seni pertunjukkan, tradisi dan ekspresi lisan, adat istiadat, pengetahuan alam, kerajinan, dan perayaan.

Hegemoni teknologi menciptakan lompatan budaya. Memangkas beberapa generasi yang mendambakan kehidupan ideal. Mempopulerkan kebudayaan global lintas negara. Penguasa teknologi akan mengakuisisi budaya bangsa. Menjadikannya pasar dan diajak perlahan meninggalkan budaya lokal.

Ketergantungan terhadap teknlogi menentukan nasib kebudayaan yang kian ditinggalkan. Abstraksi nilai tidak menjadi orientasi masyarakat bertahan hidup selain memanfaatkan teknologi untuk mencari uang. Sosialisasi antar manusia tidak lagi jadi kebutuhan. Komunikasi virtual lebih dipentingkan daripada interaksi sosial.

Kita lebih disibukan pada kondisi ekonomi, iklim politik, dan sistem pendidikan negara. Kebudayaan tidak begitu dipertimbangakan dalam bahasan nasional yang tidak punya parameter nilai. Hancurnya moralitas bangsa ditentukan dari kepeduliannya terhadap budaya bangsa.

Penguatan kebudayaan akan meminimalisir konflik, anarkisme, dan ketidaksopanan masyarakat. Bagaimana mengembalikan nilai-nilai warisan leluruh yang banyak terkontaminasi budaya asing. Menjadi manusia bebal, anti-kritik, dan suka permusuhan. Nasib kebudayaan tergantung kita memperlakukan perubahan zaman (era teknologi) dengan tetap memegang prinsip hidup.

Tidak mudah terdoktrinasi dan mengurangi sikap fanatisme yang mengaburkan nilai toleransi. Membangkitkan lagi konsep Ekasila tentang makna gotong royong. Saling asah, saling asih, dan saling asuh. Teknologi punya peran terhadap perubahan kebudayaan, namun menjadi ancaman serius jika tidak mampu mengendalikannya.

Lompatan budaya menjadi rambu tentang dampak perubahan sosial. Pemerintah dan hukum tidak lagi punya kendali mengatur masyarakat. Kebebasan dijunjung yang berpotensi pada konflik sosial. Budaya bangsa berkaitan dengan pola pikir, perilaku, dan ucapan. Sikap menghormati dan menghargai berubah menjadi klaim kebenaran tunggal. Menjadi korektor atas ketidaksesuaian prinsip yang dipegangnya.

Demikian halnya dengan budaya betawi sebagai kesatuan sikap masyarakat Jakarta. Ada nilai filosofis, pandangan hidup, dan norma yang dipegang untuk menciptakan kondisi sosial masyarakat yang ideal. Budaya terbentuk dari konsensus masyarakat yang bisa berubah seiring perkembangan zaman, namun nilai atau ideologi kebudayaan tetap akan utuh jika konsisten dilestarikan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun