Konsistensi terhadap perwujudan prioritas keinginan yang dicapai merupakan nilai yang dianut seseorang. Nilai melekat pada sesuatu yang memiliki fungsi dan manfaat bagi masing-masing orang yang bersifat objektif. Itulah sebabnya nilai berkaitan dengan perasaan senang dan nyaman yang dijadikan tujuan manusia.
Kompleksitas nilai memiliki valuasi yang berbeda berdasarkan sudut pandang setiap orang. Emosi merupakan variabel utama dalam menangkap nilai yang sifatnya konkrit dan mutlak. Setiap orang punya parameter nilai berdasarkan persepsi memandang sesuatu. Jalur nilai melalui jiwa (emosi), bukan berdasarkan pikiran (akal).
Dorongan emosi merupakan nilai moralitas yang wajib dilakukan manusia. Nilai bergantung pada perilaku, bukan pada individu yang melakukan. Sehingga kebaikan dan keadilan punya pondansi sendiri tanpa syarat apa pun. Harus bisa dipisahkan antara perbuatan yang dibalut dengan motif tertentu.
Sesuatu yang bernilai biasanya menjadi prioritas pilihan. Namun nilai selalu tersembunyi di balik kenyataan dan diwujudkan dalam sesuatu yang melekat. Perbuatan adalah pengekspresian nilai, tapi tidak selalu perbuatan mengemban nilai. Objektivitas nilai tidak dapat diintervensi subjektivitas dalam menilai perbuatan atau barang.
Manusia tidak menciptakan nilai, tapi menemukannya. Kualitas nilai didapat manusia dari konsep rasa atau emosi yang dimaknai dan bisa diterapkan dalam hidup. Meskipun tidak semua orang bisa mengaplikasikan nilai yang didapatnya. Perbedaan nilai yang kemudian menciptakan kondisi ideal dalam kultur-sosial di masyarakat.
Pengalaman terhadap nilai lebih dahulu dikenal sebelum sesuatu yang ditemukan. Sehingga nilai tidak untuk dipahami, tapi diterapkan. Setiap orang akan menerapkan nilai secara berbeda berdasarkan konsep yang sudah dibangun. Perilaku atau tindakan seseorang akan menujukan tatanan nilai yang dianutnya. Nilai apa yang lebih diprioritaskan dalam hidup. Sehingga tindakan merupakan manifestasi dari nilai.
Konsep Keadilan
Keadilan merupakan nilai-nilai dasar sosial, bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain. Dalam hubungan antar manusia ada beberapa aspek untuk mencapai tata nilai sosial seperti niat, tindakan, alat, dan hasil. Dalam bidang politik, keadilan dimaknai sebagai kondisi ideal yang nilainya bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
Ada nilai materialistik, sosial, religiusitas, dan kebudayaan. Aktualisasi konsep keadilan ada dalam bentuk kebijakan pemerintah yang ditandai dalam aturan hukum. Bentuk nilai materialistik adalah kesejahteraan masyarakat yang diukur dari kondisi terpenuhinya kebutuhan. Nilai sosial adalah kondisi aman dari konflik antar masyarakat. Nilai religiusitas adalah terpenuhuinya kebutuhan spiritualitas. Sementara nilai kebudayaan adalah terjaganya pola pikir masyarakat secara norma dan adab yang dianutnya.
Data terkait keadilan menyajikan indikator nilai politik. Tindakan yang diwujudkan dalam kebijakan memaknai keadilan memiliki perbedaan nilai secara universal. Fokus pengambilan kebijakan menandakan konsep keadilan dari nilai pemimpin tentang prioritas politik.
Nilai keadilan yang abstrak membentuk intensitas kebahagiaan masyarakat lebih panjang periodenya. Bentuk kebijakan yang mengutamakan nilai materialistik tidak bisa bisa dinikmati dalam jangka waktu yang lama. Seseorang akan lebih merasa dibagi keadilan jika diberikan aset daripada uang tunai.
Persepsi Keadilan
Tidak ada indikator yang pasti mengukur kuantitas dan kualitas keadilan. Pemerataan tanpa kesenjangan ekonomi dan sosial yang kerap dijadikan penilaian keadilan. Semakin lebar jurang kesenjangan, semakin jelas ketidakadilan yang dirasakan. Namun kadang penilaian tentang konsep keadilan dikaburkan oleh sikap kecintaan dan kebencian yang berlebihan.
Keterlibatan dalam kelompok akan memandang realitas kehidupan menjadi tidak lagi objektif. Bagi sekubu akan melihat pemerataan keadilan, sementara sisi lainnya akan melihat ketidakadilan. Keadilan yang merupakan gagasan atau ide yang abstrak menjadi celah untuk menyerang orang atau kelompok yang berseberangan.
Ketika kita melihat masifnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah akan punya dua persepsi bahwa pemerataan keadilan sedang dikejar, namun ada juga yang melihat urgensi pembangunan manusia dan kebudayaan ditinggalkan. Padahal kualitas keadilan kemanusiaan punya periode kebahagiaan yang lebih lama ketimbang ketersediaan waduk atau jalan tol.
Dampak dari terabainya pembangunan pola pikir masyarakat menciptakan polarisasi yang seringkali menjadi konflik sosial. Tidak lagi berpikir objektif selain tindakan menghancurkan lawan yang tidak sepihak. Mementingkan ego kemenangan diri daripada upaya membangun keadilan bersama-sama. Sebab kritik bukan cara memuaskan nafsu mempermalukan lawan diskusi. Ketika kritik dilakukan, maka akan timbul perasaan kecewa karena "musuh" melakukan hal yang benar.
Kecacatan pola pikir tersebut yang menandai sulitnya mencapai keadilan. Manusia modern lebih suka menggadaikan nilai yang dianut untuk kenikmatan sesaat melihat yang dianggapnya lawan menderita atau kalah. Perlu bangunan kesamaan persepsi menilai keadilan. Meyakinkan bahwa persatuan lebih indah daripada perpecahan. Bergotong royong menggapai keadilan yang diidamkan secara komunal.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H