Tidak ada indikator yang pasti mengukur kuantitas dan kualitas keadilan. Pemerataan tanpa kesenjangan ekonomi dan sosial yang kerap dijadikan penilaian keadilan. Semakin lebar jurang kesenjangan, semakin jelas ketidakadilan yang dirasakan. Namun kadang penilaian tentang konsep keadilan dikaburkan oleh sikap kecintaan dan kebencian yang berlebihan.
Keterlibatan dalam kelompok akan memandang realitas kehidupan menjadi tidak lagi objektif. Bagi sekubu akan melihat pemerataan keadilan, sementara sisi lainnya akan melihat ketidakadilan. Keadilan yang merupakan gagasan atau ide yang abstrak menjadi celah untuk menyerang orang atau kelompok yang berseberangan.
Ketika kita melihat masifnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah akan punya dua persepsi bahwa pemerataan keadilan sedang dikejar, namun ada juga yang melihat urgensi pembangunan manusia dan kebudayaan ditinggalkan. Padahal kualitas keadilan kemanusiaan punya periode kebahagiaan yang lebih lama ketimbang ketersediaan waduk atau jalan tol.
Dampak dari terabainya pembangunan pola pikir masyarakat menciptakan polarisasi yang seringkali menjadi konflik sosial. Tidak lagi berpikir objektif selain tindakan menghancurkan lawan yang tidak sepihak. Mementingkan ego kemenangan diri daripada upaya membangun keadilan bersama-sama. Sebab kritik bukan cara memuaskan nafsu mempermalukan lawan diskusi. Ketika kritik dilakukan, maka akan timbul perasaan kecewa karena "musuh" melakukan hal yang benar.
Kecacatan pola pikir tersebut yang menandai sulitnya mencapai keadilan. Manusia modern lebih suka menggadaikan nilai yang dianut untuk kenikmatan sesaat melihat yang dianggapnya lawan menderita atau kalah. Perlu bangunan kesamaan persepsi menilai keadilan. Meyakinkan bahwa persatuan lebih indah daripada perpecahan. Bergotong royong menggapai keadilan yang diidamkan secara komunal.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H