Biasanya puncak kemarahan sutradara akan muncul ketika beberapa hari mendekati hari pementasan. Sekiranya masih jauh dari ekspektasi pertunjukan, ia akan gampang emosi. Bagi pemain dan tim yang baper-an akan menandai sutradara ngamukan dalam prosesnya. "Ealah, pentas tidak dibayar aja kok marahnya optimal,"
Kesenian teater tentu tidak bisa disamakan dengan industri film. Teater jauh dari kata menarik untuk dijadikan hiburan. Hasilnya juga berpengaruh pada minat sponsor mendanai pertunjukan teater. Padahal dari sisi proses, teater jelas lebih menegangkan, melelahkan, dan menguras emosi. Kesalahan saat pertunjukan tidak bisa di-cut dan di-edit. Kemudian muncul teknik baru: improvisasi.
Mengherankan masih banyak yang bergelut di kesenian teater, apalagi para sutradara muda. Apa sih yang diharapkan? Popularitas? Saya kira sutradara tidak akan sepopuler pemain di atas panggung. Kekayaan? Iklim perteateran nasional itu, dana yang dihasilakan akan habis (bahkan ngutang) untuk biaya produksi.
Sudahlah, resign jadi sutradara teater. Mending jadi buruh pabrik seperti saya. Dapat gaji UMR tanpa sibuk mikir konsep, kualitas pertunjukan, dan manajemen emosi. Berharap apa dan kepada siapa hidup berteater? Memang kesenian diharapkan musnah kok di Indonesia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H