Sepengalaman saya bergelut di banyak bidang kesenian, teater merupakan jenis kesenian yang paling rumit. Menyatukan berbagai unsur kesenian dalam sebuah pementasan. Terlalu konyol mengatakan teater hanya sebatas seni bermain peran alias akting. Di sana ada lautan kesenian seperti tari, musik, rupa, lampu, kostum, rias, hingga dekorasi.
Kompleksitas seni teater menyadarkan bahwa puncak kesenian adalah bermain drama. Kesemuanya harus memahami esensi berkesenian dan motif keberadaan unsur seni. Aktor dan aktris tidak hanya mendalami sisi teknis olah vokal, rasa, jiwa, gerak, dan ekspresi. Pemain juga harus paham tempo, pesan, dan kondisi panggung. Pun demikian dengan tim keproduksian.
Sedikit gambaran dalam proses teater dipisah menjadi tim produksi dan artistik. Bagian produksi memainkan peran ketersediaan tempat, kepastian waktu pentas, kelancaran perizinan, pendanaan, hingga teknis pertunjukan. Sementara tim artistik lebih fokus pada proses pementasan yang membawai berbagai kesenian yang meliputinya.
Proses teater biasanya memakan waktu 3 sampai 6 bulan. Beberapa teater profesional bahkan butuh waktu setahun lebih untuk sebuah pertunjukan sekira dua jam di panggung. Lamanya proses tentu berkaitan dengan pelatihan bedah naskah, penentuan karakter, penjelasan pesan naskah, hingga durasi hafalan dialog dan improvisasi.
Di sinilah peran sutradara teater yang mesti dikuasai sebelum memutuskan menggarap sebuah naskah. Dia harus paham garis blocking, gambaran peran, teknik pencahayaan, suasana musik, dan visualisasi pertunjukan. Jadi sutradara yang baik tidak mesti ditentukan dari seberapa keren saat dia menjadi aktor, melainkan kemampuan mengaktualisasikan ide ke dalam seluruh tim pertunjukan.
Sutradara harus menyadari pentingnya kehadiran aktor sebagai ujung tombak permainan. Pemilihan aktor (casting) adalah langkah awal dan fundamental menentukan kualitas pertunjukan. Pemilihan naskah juga menjadi bagian penting bagaimana pertunjukan akan dihasilkan. Salah dalam memilih naskah dan aktor akan menjadi bumerang saat pementasan.
Ada beberapa teknik yang digunakan sutradara dalam menggarap sebuah pementasan. Pertama, merobotkan aktor dan tim artistik. Tipe sutradara yang otoriter dengan memaksa seluruh tim mengikuti arahannya. Aktor tidak punya daya kreasi, begitu juga dengan tim musik, lampu, setting, dan kostum.
Kedua, membebaskan. Sutradara hanya memberi rambu-rambu atau batasan. Selama pertunjukan tidak melenceng jauh dari ide awal pengagrapan akan tetap dipentaskan. Biasanya sutradara tipe ini punya karakter percaya pada kemampuan aktor dan tim artistik.
Ketiga, memadukan tipe pertama dan kedua. Selama teknik membebaskan tim pertunjukan jauh dari yang diharapkan, sutradara akan turun tangan mengajari detail permainan. Hal ini dilakukan agar pertunjukan yang berlangsung tidak memalukan untuk ditonton.
Selain punya jiwa seni yang maksimal, sutradara harus paham konsep kecerdasan emosional. Sutradara wajib datang setiap jadwal latihan dan harus sabar ketika ada beberapa pemain atau timnya berhalangan hadir. Sutradara juga harus sabar mengarahkan pemain yang berulangkali salah dialog, gestur, hingga blockingan.
Biasanya puncak kemarahan sutradara akan muncul ketika beberapa hari mendekati hari pementasan. Sekiranya masih jauh dari ekspektasi pertunjukan, ia akan gampang emosi. Bagi pemain dan tim yang baper-an akan menandai sutradara ngamukan dalam prosesnya. "Ealah, pentas tidak dibayar aja kok marahnya optimal,"
Kesenian teater tentu tidak bisa disamakan dengan industri film. Teater jauh dari kata menarik untuk dijadikan hiburan. Hasilnya juga berpengaruh pada minat sponsor mendanai pertunjukan teater. Padahal dari sisi proses, teater jelas lebih menegangkan, melelahkan, dan menguras emosi. Kesalahan saat pertunjukan tidak bisa di-cut dan di-edit. Kemudian muncul teknik baru: improvisasi.
Mengherankan masih banyak yang bergelut di kesenian teater, apalagi para sutradara muda. Apa sih yang diharapkan? Popularitas? Saya kira sutradara tidak akan sepopuler pemain di atas panggung. Kekayaan? Iklim perteateran nasional itu, dana yang dihasilakan akan habis (bahkan ngutang) untuk biaya produksi.
Sudahlah, resign jadi sutradara teater. Mending jadi buruh pabrik seperti saya. Dapat gaji UMR tanpa sibuk mikir konsep, kualitas pertunjukan, dan manajemen emosi. Berharap apa dan kepada siapa hidup berteater? Memang kesenian diharapkan musnah kok di Indonesia.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H