Seringkali saya menemui saudara, kawan, tetangga, dan entah siapa pun kalau sedang nongkrong secara tidak sadar buka-tutup media sosial. Padahal tidak ada chat atau panggilan di media sosial tersebut. Sekedar menghilangkan kegabutan dan kebinguangan mau ngapain.
Meskipun sepele, perkara ini begitu memporakporandakan hati saya yang suka ngobrol dan bercerita ngalor-ngidul seputar cinta dan kehidupan. Kadang diselipi celetukan humor yang bikin terkekeh-kekeh. Sementara aktivitas buka-tutup media sosial menjadi tombok tinggi pembatas hilangnya kewarasan dan nilai-nilai sosio-kultural.
Lagian apa sih faedah buka-tutup media sosial?
Saya itu punya beragam akun media sosial aktif seperti Instagram, Facebook, WhatsApp, Line, Twitter, dan Telegram. Namun saya tidak secandu kawan-kawanku yang bisa berjam-jam melototi media sosial. Buka-tutup media sosial tidak punya korelasi terhadap kekayaan dan popularitas seseorang.
Biasanya, buka media sosial hanya untuk menyempatkan buka story (WhatsApp Story atau Instastory)Â dari teman-temannya. Apakah mereka bahagia? Saya kira tidak, selain sifat iri dan dengki melihat kebahagiaan serta kesuksesan teman-teman kita. Lha media sosial kan memang dirancang untuk memamerkan diri, istilah kerennya wadah eksistensi.
Selain itu paling untuk menghina dalam hati atas nasib buruk yang menimpa teman kita. Misalkan ada teman yang punya pasangan berwajah jelek -cantik atau tampan itu realtif, kalau jelek itu mutlak- akan merasa jumawa dan prihatin terhadap nasib tragis kawan kita. Misal ada yang sambat di media sosial, kita juga tidak akan sempat berempati selain sikap bodo-amat pada nasib orang lain.
Oiya, buka-tutup media sosial juga dilakukan untuk cek siapa dan berapa jumlah yang menyukai dan berkomentar di postingan kita. Semakin banyak yang nge-like, ia akan bahagia dan bangga akan popularitasnya (sok kemartis). Sementara jika sepi like, ia akan galau dan gundah gulana. Apa wajahku sebegitu hinanya, kok sampai sedikitnya yang mengapresiasi dengan tombol like.
Beberapa orang yang gila like dan komentar akan menghapus postingan lama yang dianggap tidak punya engagement yang oke. Harapan dan imajinasinya ada banyak yang kepo profilnya dan melihat seberapa terkenalnya ia di media sosial. Saking gilanya popularitas, banyak yang menawarkan jasa jual-beli followers, jasa like dan komentar, hingga jasa paid promote diri sendiri.
Entah sejak kapan popularitas di media sosial menjadi sesuatu yang begitu dicita-citakan. Padahal semakin terkenal seseorang, semakin banyak masalah yang akan dihadapi. Percayalah. Mending kaya sufi-sufi yang malah suka menyepi dan menghilang dari hingar-bingar keduniawian. Ya, begitulah... Media sosial memang alat untuk ajang pamer di zaman modern.
Jadi ingat nasihat Gus Sabrang alias Noe Letto alias anak Cak Nun yang mengatakan media sosial adalah sekumpulan sampah informasi. Syukur kalau ada yang bisa didaur ulang, tapi biasanya malah menjadi file sampah di otak kita yang bikin sumpek dan menderita menjalani kehidupan. Ketergantungan pada media sosial itu malah berpotensi menghilangkan banyak kebahagiaan karena lomba memamerkan ketampanan/kecantikan, kekayaan/kemewahan, dan punya pasangan yang aduhai.
Percuma cari uang banyak untuk memperindah diri tapi tidak sempat dipamerkan. Dan media sosial memfasilitasi itu. Maka jangan disalahkan juga kalau ada orang yang bentar-bentar buka media sosial meski tidak ada pemberitahuan sama sekali.
Kamu nanyeak media sosial itu fungsinya apa? Sini ya aku kasih tau....
Media sosial itu untuk berguna untuk mencari sumber berita primer. Televisi dan media mainstream lainnya itu cari berita kebanyakan dari media sosial. Apalagi twitter tuh. Berita seputar bencana alam, artis KDRT, menanam padi dengan maju, hingga aktivitas kebaya merah tersebar begitu cepat dan trengginas. Setelah viral, baru deh televisi dan koran-koran kenamaan ikut meliput.
Syukur kalau media sosial benar-benar dimanfaatkan untuk mencari informasi yang berfaedah bagi kehidupan. Tapi masak iya, (pas saya nongkrong) mencari berita hanya dilakukan dengan buka-tutup media sosial secara cepat. Emang benar manusia-manusia sebegitu sangarnya mau membaca berita. Sementara data literasi manusia Indonesia itu masih degradasi.
Lhakok baca berita, dari screenshoot-an judul berita aja sudah auto mahir menghujat dan membela mati-matian. Ah, semoga saja overthingking-ku salah. Sebelum menghujat di media sosial, mungkin mereka semua sudah pelajari konteks dan motif kejadian. Mengumpulkan banyak informasi di media sosial yang kukira hanya berharap butuh like dan komentar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H