Sementara di Solo, teater hanya dijadikan hobi menyalurkan gairah berkesenian. Di kampus yang menjadikan teater sebagai organisasi, pementasan diadakan hanya karena alasan menjalankan program kerja (proker). Bodo amat mengenai kualitas pertunjukan, pesan pementasan, dan kritik-saran dari penonton.
Itu yang menjadi salah satu alasan susahnya pelaku teater mendapat atensi dan apresiasi dari masyarakat. Sulit berkembang. Berteater seolah meribetkan diri dengan proses yang panjang disertai konflik antar pemain, sutradara, dan tim produksi. Hasilnya?Â
Tepuk tangan dari penonton kalau pertunjukannya menarik, kalau tidak? Sindiran dan rasan-rasan dari kelompok teater lain yang mengorbankan waktu dan uang tapi disuguhi pertunjukan yang menjijikan.
Di tengah dilematis nasib pelaku teater, heran dan takjub ketika melihat realita bahwa banyak sekolah dan tiap fakultas di kampus unggulan punya kelompok teater.Â
Mereka sadar bahwa teater mustahil dijadikan harapan bertahan hidup, namun masih bersuka cita setelah pertunjukan usai.
Ketika saya sambat vakum beberapa tahun di dunia teater dengan mas Andy SW -seorang seniman teater yang lebih dikenal sebagai seniman pantomim- ia mengatakan bahwa kegelisahan mengenai nasib teater masih lebih berharga daripada pelaku teater yang hanya tampil di panggung tapi tidak punya kegelisahan mengenai masa depan arah teater.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI