Saya lebih dari 12 tahun bergelut di bidang kesenian teater. Mulanya dari ajakan sekelompok mahasiswa-mahasiwa selengekan mempertontonkan drama dan musik yang membuat gairah kesenian saya muncul seketika.Â
Padahal semasa sekolah, buta dan anti kesenian sebab latar belakang saya yang kebetulan jadi santri informal di kampung. Masyarakat desa masih punya anggapan miring mengenai dunia kesenian yang menjauhkan seseorang dari moralitas dan spiritualutas personal.
Di kampung, kesenian paling konsisten dihadirkan adalah campursari ketika ada resepsi pernikahan. Lagu dengan irama dangdut koplo yang kemudian menarik masa pecinta ciu larut dalam jogetan.Â
Sementara waktu SD, masih teringat adanya kesenian tayub yang diselingi ketoprakan di perempatan jalan utama kampung. Seiring berkembangnya zaman dan minimnya apresiasi kesenian, tayub lenyap dari kampung saya.
Sampai sekarang kesenian masih punya persepsi negatif di masyarakat yang disimbolkan dengan gaya urakan, hobi kemaksiatan, dan tidak peduli kesehatan.Â
Seni bukan hanya tentang kopi dan senja, tapi juga ada ciu, rokok, alat kontrasepsi, dan narkoba. Ketika banyak artis yang tersandung kasus narkoba, sebab seni memang identik dengan hal yang begituan.
Namun karena paham batasan menjalankan agama, kesenian sering saya jadikan alat untuk mengelaborasi seni-agama. Beragama dengan keindahan. Sejak itulah saya mengidolai sosok Muhammad Aniun Najib alias Cak Nun. Santri, teaterawan, sastrawan, penulis, dan punya pengaruh.
Kemudian saya aktif berteater hingga menjadi aktor utama, sutradara, dan sekarang penulis naskah. Teater merupakan kesenian yang paling kompleks.Â
Berbagai unsur atau jenis kesenian terwakilkan dalam panggung teater mulai dari seni musik, gerak (tari), interior, desain warna lampu, musik, lukis, hingga puisi.
Prosesnya juga butuh waktu tiga sampai empat bulan untuk mementaskan satu naskah. Sementara penghargaan tertinggi pelaku teater bukan tentang uang, namun apresiasi dan tepuk tangan penonton.Â
Penjualan tiket habis untuk menutup biaya produksi mulai dari sewa gedung, pembelian set atau properti, kostum, dan konsumsi selama proses.
Sponsor juga jarang terlibat mengingat pertunjukan teater hanya berlangsung dua jam. Setelah itu tidak ada. Berbeda dengan bazzar atau konser yang melibatkan banyak masyarakat dan punya durasi mengenalkan perusahaan lebih lama. Kalau tetaer selalu menjadi kesenian yang dianaktirikan.
Sempat diskusi mengenai kecilnya antusiasme pertunjukan teater daripada film. Padahal harga tiket bioskop lebih mahal dan bisa ditonton gratis kalau sudah muncul di website streaming ilegal.Â
Sedangkan teater yang menjalankan proses yang lebih lama dan intens sebab harus menghafal naskah secara utuh hanya dihargai dengan tiket murah.Â
Film kalau salah masih bisa diedit atau di-cut, sementara dalam pertunjukan teater harus sempurna. Misal ada kesalahan, aktor harus pandai improvisasi agar lawan main tidak kebingungan dan alur cerita masih enak dinikmati penonton.
Risiko teater parah, namun apresiasinya rendah. Ketika mencoba menaikan harga tiket lebih dari pasaran, penonton akan sepi dan pendapatan tiket berkurang.Â
Itulah kenapa banyak mahasiswa yang semula aktif berteater di kampus kemudian menghilang entah kemana ketika melihat realitas bahwa berteater tidak akan cukup memenuhi kebutuhan hidup. Realistis aja.
Iklim perteateran di Solo juga kurang mendukung seniman punya peran dan harapan menyejahterakan kehidupannya. Sementara kisah di Jakarta, teater merupakan pondasi awal menjadi aktor atau aktris film.Â
Meski sekarang mulai bergeser produksi film lebih menggantungkan kualitas film kepada aktor dan aktris pemula yang tidak paham dasar drama tapi punya followers yang melimpah: selebgram.
Namun itu yang bisa dijadikan acuan serius berteater, yakni mendapat panggung lebih luas di dunia perfilman. Menjadi artis yang punya popularitas dan mampu dijadikan mata pencaharian.Â
Sementara di Solo, teater hanya dijadikan hobi menyalurkan gairah berkesenian. Di kampus yang menjadikan teater sebagai organisasi, pementasan diadakan hanya karena alasan menjalankan program kerja (proker). Bodo amat mengenai kualitas pertunjukan, pesan pementasan, dan kritik-saran dari penonton.
Itu yang menjadi salah satu alasan susahnya pelaku teater mendapat atensi dan apresiasi dari masyarakat. Sulit berkembang. Berteater seolah meribetkan diri dengan proses yang panjang disertai konflik antar pemain, sutradara, dan tim produksi. Hasilnya?Â
Tepuk tangan dari penonton kalau pertunjukannya menarik, kalau tidak? Sindiran dan rasan-rasan dari kelompok teater lain yang mengorbankan waktu dan uang tapi disuguhi pertunjukan yang menjijikan.
Di tengah dilematis nasib pelaku teater, heran dan takjub ketika melihat realita bahwa banyak sekolah dan tiap fakultas di kampus unggulan punya kelompok teater.Â
Mereka sadar bahwa teater mustahil dijadikan harapan bertahan hidup, namun masih bersuka cita setelah pertunjukan usai.
Ketika saya sambat vakum beberapa tahun di dunia teater dengan mas Andy SW -seorang seniman teater yang lebih dikenal sebagai seniman pantomim- ia mengatakan bahwa kegelisahan mengenai nasib teater masih lebih berharga daripada pelaku teater yang hanya tampil di panggung tapi tidak punya kegelisahan mengenai masa depan arah teater.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H