Penjualan tiket habis untuk menutup biaya produksi mulai dari sewa gedung, pembelian set atau properti, kostum, dan konsumsi selama proses.
Sponsor juga jarang terlibat mengingat pertunjukan teater hanya berlangsung dua jam. Setelah itu tidak ada. Berbeda dengan bazzar atau konser yang melibatkan banyak masyarakat dan punya durasi mengenalkan perusahaan lebih lama. Kalau tetaer selalu menjadi kesenian yang dianaktirikan.
Sempat diskusi mengenai kecilnya antusiasme pertunjukan teater daripada film. Padahal harga tiket bioskop lebih mahal dan bisa ditonton gratis kalau sudah muncul di website streaming ilegal.Â
Sedangkan teater yang menjalankan proses yang lebih lama dan intens sebab harus menghafal naskah secara utuh hanya dihargai dengan tiket murah.Â
Film kalau salah masih bisa diedit atau di-cut, sementara dalam pertunjukan teater harus sempurna. Misal ada kesalahan, aktor harus pandai improvisasi agar lawan main tidak kebingungan dan alur cerita masih enak dinikmati penonton.
Risiko teater parah, namun apresiasinya rendah. Ketika mencoba menaikan harga tiket lebih dari pasaran, penonton akan sepi dan pendapatan tiket berkurang.Â
Itulah kenapa banyak mahasiswa yang semula aktif berteater di kampus kemudian menghilang entah kemana ketika melihat realitas bahwa berteater tidak akan cukup memenuhi kebutuhan hidup. Realistis aja.
Iklim perteateran di Solo juga kurang mendukung seniman punya peran dan harapan menyejahterakan kehidupannya. Sementara kisah di Jakarta, teater merupakan pondasi awal menjadi aktor atau aktris film.Â
Meski sekarang mulai bergeser produksi film lebih menggantungkan kualitas film kepada aktor dan aktris pemula yang tidak paham dasar drama tapi punya followers yang melimpah: selebgram.
Namun itu yang bisa dijadikan acuan serius berteater, yakni mendapat panggung lebih luas di dunia perfilman. Menjadi artis yang punya popularitas dan mampu dijadikan mata pencaharian.Â