Buang angin alias kentut adalah proses pelepasan gas dari sistem pencernaan yang terbentuk sebagai hasil dari pencernaan makanan akibat udara yang tertelan. Ada berbagai jenis suara kentut yang biasanya mudah dideteksi dari ukuran tubuh seseorang.Â
Semakin besar ukuran volume tubuh seseorang, semakin nyaring suara kentut yang dikeluarkan. Namun ada fakta unik bahwasanya nyaringnya kentut tidak berkorelasi dengan sengatan bau kentut. Malah kadang yang mematikan suara kentut yang tertahan (terjepit di sela pantat).
Apa pun itu, kentut tetap dianggap sebagai aktivitas yang tabu (hina). Ekspresi spontan menutup hidung meskipun baunya belum tercium menandakan bahwa kentut harus punya etika di depan umum.Â
Bagi orang pendiam dan pemalu, keluarnya kentut secara tiba-tiba akan menciptakan suasana yang canggung. Bahkan ada yang rela tidak mengaku daripada mendapat perundungan.
Dalam beberapa tongkrongan malah ada yang suka iseng memberikan ancaman sumpah jika tidak ada yang mengaku. Pasti ada dong yang kentut jika dalam sebuah ruangan ada bau kentut.Â
Tapi kok masih ada yang tidak mengaku? Apakah mengaku kentut lebih menakutkan daripada ancaman sumpah atas nama Tuhan? Selain sumpah keagamaan, juga ada sumpah penyakit seperti silit dobolen (pantat dobolen).
Fenomena kentut ini menjadi pelajaran berharga bahwa orang lebih suka membongkar aib orang lain - meskipun kentut juga bukan indikator aib - daripada mencari membongkar diri sendiri.Â
Kalau aib sendiri sebisa mungkin disembunyikan meski dengan risiko silit dobolen. Sementara aib orang lain wajib dbongkar untuk setidaknya mengalahkan salah satu pesaing hidup di dunia.
Menariknya ketika sedang sendiri, kentut bisa dikeluarkan bebas dan loss. Suara fals dan bau menyengat dianggap biasa. Sementara kentut orang lain diekspresikan lebay seolah kumpulan bau-bau dunia dikombinasikan menjadi satu.Â
Budaya menuduh kentut orang lain - padahal dirinya sendiri - sering diaplikasikan dalam berbagai momen kehidupan, termasuk para politikus terhormat yang duduk di tahta Kerajaan Konoha.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H