Kabar terbaru, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap dugaan 'pemalakan' dalam kasus perundungan yang berujung kematian dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswi kedokteran PPDS anestesi Universitas Diponegoro (Undip).
Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril menyebut dugaan ini diperoleh dari hasil proses investigasi terbaru. Kemenkes menegaskan permintaan uang tersebut di luar biaya pendidikan resmi.
Syahril mengatakan tindakan tersebut dilakukan oknum-oknum dalam program PPDS. Permintaan uang berkisar antara Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan.
Tudingan ini semakin memperkuat dugaan bahwa Kemenkes secara sengaja menggunakan kasus kematian ini untuk menekan akademisi yang menolak UU Omnibus Law Kesehatan.
Ambisi Liberaliasi dan Kapitalisasi Kesehatan
Untuk diketahui, UU Omnibus Law Kesehatan dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait organisasi keprofesian baik kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan dan apoteker. Dalam UU ini, 9 undang-undang yang terkait keprofesian dan kesehatan dihilangkan.
Selain itu, uu Omnibus Law dinilai memberikan landasan hukum terjadinya liberalisasi dan kapitalisasi sektor kesehatan di Indonesia.
Menteri Kesehatan terlihat memiliki ambisi untuk memperkenalkan investasi besar dari dalam dan luar negeri ke sektor kesehatan, mengubah dinamika pasar, dan mengarahkan kebijakan kesehatan menuju model komersial.
Dengan adanya kebijakan ini, entitas besar, baik domestik maupun asing, akan lebih mudah berinvestasi, mengakuisisi fasilitas kesehatan, dan mengendalikan pasar.
Liberaliasi ini bertujuan untuk membuka peluang bagi investasi swasta, namun juga dapat menyebabkan ketimpangan dalam akses dan kualitas layanan kesehatan.
Kapitalisasi kesehatan memungkinkan perusahaan-perusahaan besar untuk mengambil alih fasilitas kesehatan, yang dapat mengarah pada dominasi pasar oleh segelintir pemain besar, dan berpotensi mengurangi peran serta fasilitas kesehatan publik dan memperbesar kesenjangan dalam layanan kesehatan.