Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bendera

20 September 2023   20:42 Diperbarui: 20 September 2023   23:36 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imagined Communities (dok.pri)

Yang menyadarkanku bahwa hari itu tanggal 17 Agustus adalah pesan WA pemilik rumah yang kudiami, "Jangan lupa pasang bendera. Ada di lemari."

Sembari bangkit dari sofa tempatku tergeletak setengah jaga sejak adzan subuh tadi, aku menutup aplikasi WA setelah membalas pesan singkat dengan sangat singkat, "OK". Layar utama menampilkan angka 10.30, di pojok kanan atas, di bawahnya terbaca: Thu, Aug. 17. Maka genaplah kesadaranku akan eksistensi ruang dan waktu. Disorientasi pergi. Buku lama yang belum habis kubaca ulang dan menyita segenap malamku tadi masih terbuka.

Belum cuci muka ketika sehelai kain merah-putih kuikatkan di ujung potongan pipa air lalu kutegakkan pada dudukan beton segitiga berlubang di depan teras depan. Uh, haruskah -sedikitnya- kucuci tangan dulu sebelum berurusan dengan benda sakral itu? Atau kurapatkan jemari tangan kanan dan menempelkan ujung telunjuk ke pelipis setelah ia berkibar? Andai itu kulakukan dan ada yang memergoki, apa jadinya? 

Di depan teras depan rumah di depan rumah (kuulangi: di depan teras depan - rumah di depan rumah (ku)) yang dihuni keluarga Mami Tito, juga terpasang bendera serupa. Sedangkan halaman maupun teras depan rumah di samping rumah Mami Tito tidak berhias bendera apapun. Yang ada printout banner ditempel di kaca jendela depan di samping pintu depan bertuliskan "Rumah Ini Dijual, hubungi 081343567 sekian sekian sekian."

Sementara di depan teras depan rumah tetangga di sebelah rumah yang (sedianya) dijual itu, entah siapa nama penghuninya, juga dipasang bendera dwi warna. Pun di depan teras depan rumah seorang anggota kepolisian di sebelah rumahku yang tak kutahu pula siapa namanya, ada bendera kita berkibar di puncak tiangnya.

Kuedarkan pandang mata. Tak terlihat batang hidung siapapun. Sunyi. Seperti biasanya di jam-jam segini. Bangunku kesiangan untuk mendapati tetangga-tetanggaku bersiap meninggalkan rumah entah ke mana. Kepagian untuk menjumpai mereka pulang entah dari mana. Bila malam mereka tak pernah kelihatan.

Aku, Mami Tito, dan puluhan manusia ang menghuni deretan rumah di Blok D Perum Purna Mandala Baru bolehlah ditera dengan kata ganti orang pertama jamak: kami. Secara bersama-sama, "kami" adalah sekelompok penghuni suatu wilayah terbatas yang secara teritorial disebut saling ber-"tetangga". Tapi bendera-bendera yang dikibarkan itu bukan bendera kami. Itu (those, jamak) bendera kita.

Aku tidak kenal semua tetanggaku. Mami Tito (dan Papi, suaminya) hanya mengenalku dengan sebutan "Si Om". Selebihnya, yang kutahu tentang "tetangga" adalah dokter perempuan yang masih lajang di sebelah kanan rumahku, polisi, istri, balita, dan baby sitter yang menghuni rumah di sebelah kiri rumahku. Suami istri beranak balita dua di sebelah rumah Mami Tito berselang rumah kosong yang dijual itu. Selebihnya entah. Seperti mereka, aku juga jarang di rumah.

Tapi pengenalan dan keterkenalan yang teramat terbatas itu tidak menimbulkan masalah. Malah mungkin situasi demikianlah yang kami butuhkan. Privasi sangat terjaga, kemerdekaan demikian leluasa. Toh di bawah naungan bendera-bendera merah putih yang berkibaran di depan tiap rumah di hari yang sama di Blok D itu sampai tigabelas hari ke depan, perasaan damai itu terjaga: kami tetangga, kami warga negara suatu negara yang sama. Di dalam negara itu terdapat segala tetek bengek yang kami yakini mampu menjamin hadirnya harmoni di tengah kebersamaan ini. Tidak perlu ada alaram yang berisik seperti meteran listrik kehabisan pulsa bila kami tidak saling bertegur sapa. 

Tentu saja aku tidak kenal sama sekali sesiapa yang dahulu, lebih seabad yang lalu, konon, mewakili kami, penghuni Blok D kini, berikrar, membuat konsensus, untuk hidup dalam kebersamaan sebagai satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Tapi kuduga, anak-anak muda di masanya itu saling mengenal satu dengan yang lainnya meski boleh jadi mereka tidak hidup berdampingan sebagai tetangga. Konon bahkan, mereka berasal dari tempat berjauhan, sangat berjauhan.

Aku menatap nanar bendera yang berkibar di depan teras depan rumah yang kudiami. Kubayangkan pemuda-pemuda dari masa silam itu berangan mewariskan sesutu yang hari ini tidak maujud di Blok D Perum Purna Mandala Baru. Entahlah, atau mungkin tepatnya untunglah, mereka tak sempat menyaksikannya.

Kembali aku masuk ke dalam rumah. Pintu kukunci. HP kunyalakan. Layar utama menampilkan lambang-lambang pintasan banyak aplikasi media  sosial yang semuanya bermarka angka-angka dalam warna merah. Ah, biarlah "kenalan-kenalan" itu, baik yang kukenal baik wujud fisikanya maupun yang hakikatnya perfect stranger, menunggu sesaat.

Aku ke dapur menjerang air untuk menyeduh kopi berganda dengan membasuh muka agar mata lebih enteng membuka. Sudahnya kubalas sapa hiruk pikuk yang telah menyesaki ruang-ruang komunitas di sepetak layar digital yang sebelumnya tak pernah diimajinasikan, oleh Ben Anderson sekalipun. Apalagi diikrarkan. "MERDEKA!"

Lalu sunyi lagi. (GM)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun