Dulu Anna suka membicarakannya. Teodisi menjadi senjata favoritnya karena ya.., ia pasti ditempa oleh pengalaman hidupnya. Sekarang ia lebih suka bicara tentang alkohol. Yang dulu selalu kami perdebatkan, kini tak lagi maujud dalam kata-kata. Teks-teks itu sempurna menjelma dalam seluruh gerak hidupnya.
"Hei, jangan melamun. Â Tau nggak, Uncle. Sebelum mulai bikin alkohol hidupku kacau. Arfi sibuk dengan passion barunya, bikin golok, Uncle tau gimana Arfi, kan? Buat makan aja kita susah.
'Tau-tau Pak U'un datang. Dia habis dari Tibet diundang Dalai Lama. Di sana Pak U'un belajar bikin minuman-minuman ini. Trus pulangnya aku diajari. Termasuk alat distilasi itu dia yang merancang. Ha..ha..ha.., hidupku tambah kacau."
"Ini kamu jual?"
"Iyalah. Tapi ya sebatas di komunitas aja. Yang penting buat sendiri ada, buat keperluan Ilu cukup. Udah. Habis, mau dipatenkan ribet banget urusannya. Malah pernah kita digrebek sama GPK. Habis aku. Alat distilasinya dihancurin. Lama kita nggak produksi lagi. Sebel!
'Padahal, yang aku buat ini tidak bakal membunuhmu. Smoking kills, not drink, ha... ha... ha... Etanol, dalam kadar tertentu menyehatkan. Asal kamu jangan kecanduan kayak aku.
'Ini tidak seperti minuman-minuman yang ada sekarang. Kamu tau, Uncle, kalau kamu beli Vodka tapi harganya puluhan ribu saja, kupastikan itu air, essen, dikasih metanol. Itu membunuh. Itu yang sebenarnya disebut oplosan. Bukan Gin campur Coca Cola atau Bekonang ditambah Buavita. Oplosan itu methil ethanol, obat luka campur Fanta.
'Apalagi yang buatan home industri nggak jelas-nggak jelas itu. Untuk ngejas kadar alkoholnya, paling gampang ya campur metanol. Itu pembunuhan berencana. Aku bukan pembunuh, tapi kenapa justru aku yang jadi korban?" Anna menjatuhkan diri dalam pelukanku, "Uncle.., kamu jangan pergi lagi. Aku bisa buatin kamu Vodka pakai kentang."
"Entahlah..."
"Ups, aku ceriwis ya? Hei, kamu masih menulis kan, Uncle?"
"Ya."