"Kamu yang buat?"
"Iya. Diajari Pak U'un. Kamu ingat Pak U'un, kan?"
Ya, aku ingat. Aku ingat semuanya. Bila Freud bilang bahwa semua orang menderita gangguan kejiwaan, aku tahu derita macam apa yang kusandang. Bagian di otakku yang berfungsi menghapus memori yang sudah tak lagi diperlukan tidak bekerja sebagaimana mestinya. Aku bisa memutar ulang adegan-adegan masa silam dengan jelas, bahkan jauh ke belakang ketika aku baru belajar berjalan. Yang indah memang tetap membayang, tapi yang pedih tak pernah hilang.
Pak U"un, pria yang di usia senja masih enerjik dan penuh gelora. Ia memimpin sebuah yayasan besar di Jogja yang berkhidmad di bidang pemberdayaan masyarakat desa. Bersama saudara kembarnya, Pak A'an, yang punya gallery seni ternama, adalah sesepuh komunitas yang dulu bermarkas di Rumah Merah. Mereka manusia luar biasa.
"Ya. Aku ingat. Masih sehatkah beliau? Suka datang ke sini juga?"
"Masih. Dia juga suka nanyain kamu."
"Oh, thanks God."
"Dih yang punya Tuhan... enak ya, dikit-dikit larinya ke Tuhan."
"Kamu? Atheis?"
"Iya. Aku capek nyari-nyari Tuhan. Udah ah. Nih cobain yang bening. Ini namanya Souchu. Sebenarnya sake beras tapi udah didistilasi. Awas lho, pelan-pelan aja. Alkoholnya empatpuluh persen lebih. Aku minta rokokmu, Uncle."