Bayi yang satu, berkulit kemerahan, tampak mungil (kelak setelah ditimbang, beratnya 13 ons, separoh bobot normal). Yang satu kelihatan kecil sekali (7 ons), berkulit keriput dengan warna agak hitam. Tungkai kakinya hanya sebesar ibu jari Pa'e. Keduanya perempuan.
Bu bidan memasang lampu baca bercorong di atas si bayi keriput sebagai ganti inkubator. Adzan lirih, dengan isak tangis sejuta makna, menyapa kuping si kembar.
"Pak, kok adek yang satunya kayak Smeagol?" Lilin keheranan.
"Sabar ya, Pak. Mereka memang bobotnya kurang. Tapi insyaAllah sehat," bu bidan menenangkan.
Bu bidan memberikan perhatian luar biasa pada pasien-pasien mungilnya.Terutama pada si keriput yang sampai sepuluh hari masih kesulitan sekadar membuka mata. Bahkan, setelah beberapa hari di klinik dan boleh dibawa pulang, bu bidan acap datang ke rumah menengok kembar. Bahagia ia melihat kondisi kembar terus membaik.
Yang lahir duluan, si keriput mirip Smeagol itu Pa'e kasih nama Dian Sasi. Yang lebih gemuk, lahir belakangan, dinamai Lintang Timur. Dengan Lilin, Damar, Dian dan Lintang, Pa'e sesungguhnya berdo'a agar keluarganya penuh cahaya. Dian rakus menetek. Ia tumbuh pesat. Dalam tempo dua bulan bobot mereka sudah sama.
Lintang, yang lahir lebih gemuk semula justru tumbuh agak lambat. Dua bulan ia harus menjalani terapi karena paru-parunya terkontaminasi air ketuban. Ngokop kawah, kata Yang Uti.Â
Puji Tuhan, selepas itu keduanya tumbuh normal, aktif, menggemaskan.
Tadi siang, si Mamak mengirim foto terbaru kembar. Captionnya begini (maaf, hp Pa'e tidak bisa dipakai ngambil screen shot): "Pak, kembarmu tambah gede tambah bedo, yo... Le kembar apane to?"
Pa'e membalas: "Sijine gur Imbuh, ha..ha..ha..."
Semasa balita, tinggal di desa, Pa'e memberi nick name "Ribut" untuk Dian yang kolokan, kognitif, dan cerewet. Dad's gal. Lintang yang taugh, motorik, pendiam, dapat sebutan "Imbuh". Dia Mom's gal. Di desa, nama Dian - Lintang enggak kontekstual, Pa'e beralasan.