"Value telah bergeser, Dik Wim bukan lagi dikenali dari apa yang Dik Wim pikirkan, ucapkan, tindakkan, hasilkan. Dik Wim lebih dikenali dari yang Dik Wim makan, kenakan, gunakan, miliki. Wimar yang mengendarai Honda Revo bukan Wimar yang menyetir Honda CRV, kira-kira begitu.
"Nah, memasuki abad 20, mode itu bergeser lagi menjadi seberapa cepat, siapa duluan, yang mengakses konsumsi. Jenis dan kualitas barang konsumsinya tak penting lagi, yang utama adalaha seberapa cepat Dik Wim mendapatkannya. Contoh-contohnya bertebaran hampir di semua lini kehidupan; transportasi, konsumsi itu sendiri, pendidikan, dan sebagainya.
"Contoh yang terakhir itu bisa dilihat dari menjamurnya kursus-kursus kilat; jadi start-up setelah pelatihan sehari atau auto tajir dengan memelihara robot trading.
"Ini berlaku juga dalam akses terhadap informasi. Terjadilah kemudian apa yang kita kenal sebagai disrupsi informasi digital.
"Di ruang yang kita gunakan ini saja, setiap detik bermunculan narasi-narasi baru yang disodorkan ke publik. Beragam perspektif antri berjejal hanya untuk mampir sekilas lalu dilupakan. Aku dulu membaca Aku-nya Chairil Anwar dan lekat di benak sampai sekarang. Sekarang ribuan puisi tersaji, mengundang, memancing reaksi spontan, lalu pergi begitu saja sebagai noktah jejak digital.
"Di kanal audio visual, pilihan tidak lagi ditentukan atas bobot pemberitaan maupun kredibilitas penyampainya. Tapi sudah lewat berapa lama berita itu disajikan. Konten real time, yang kualitasnya gambling karena menafikan filter dan editing, lebih memancing akses ketimbang konten terkemas rapi jali yang bertarikh 3 days ago apalagi 3 years ago.
"Dik Wim akan dominan dalam perbincangan mengenai film bila rela berlangganan Netflix dan berkesempatan nonton film tayang perdana. Atau Dik Wim jatuh dalam strata submissiv bila menunggu film yang sama lepas masa royaltinya.
"Di tivi.., ah sudahlah..," sesaat Gus Memet tersesat dalam kegamangan. Lalu...
"Lagi-lagi, pergeseran mode peradaban ini juga difasilitasi oleh pemuliaan teknologi. Sementara di dalam setiap pemuliaan teknologi terdapat integral accident yang dalam hal media massa adalah kualitas pemberitaan. Itu sebabnya, hoax sekalipun laku keras.
"Dik Wim, karena pensiun, telah kehilangan masa-masa romantis melakukan cover both side, editing (bahkan sekarang audience benci editing, lebih suka yang vulgar), preferencing dan mata rantai proses pemberitaan lain yang panjang. Semua harus dipangkas demi kecepatan agar kompatibel dengan transmiternya yakni teknologi digital.
"Nah, sebagaimana barisan media cetak besar kecil, merah, hijau, kuning, biru... yang duluan mati, Republika harus menjemput ajal ketika berbenturan dengan integral accident dalam teknologi informasi. Jadi, tudingan berbau politik identitas soal berhenti cetaknya Republika bisa kita tepiskan. Apalagi sebenarnya mereka hanya boyong ke platform digital mengikuti kehendak peradaban."