Mohon tunggu...
Gus Memet
Gus Memet Mohon Tunggu... Relawan - Santri Kafir

Ada dari satu suku kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sandyakala Jejak Pena

16 Januari 2022   10:58 Diperbarui: 16 Januari 2022   23:25 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat ke dua untuk dinda Dim.

Dinda, menyambung suratku dulu, sebenarnya aku masih ingin berkalam tentang pentingnya revolusi dunia pendidikan. Tentu agar nyinyiranku tak jatuh sebagai kritik dekonstruktif belaka.

Tapi kau tahu watakku: aku enggan menulis ulang teori-teori muluk hasil nilep pemikiran orang, mengolahnya dengan keterampilan bermain kata, lalu menyajikannya dengan kemalasan kronis untuk sekadar membuat catatan kaki, atau minimal bilang: wa Allah hu a'lam. Apalagi nekad menyuguhkan kutip sana sini itu secara mentahan. Emangnya lalap!

Memang mustahil memproduksi teks orisinil. Manusia tidak punya kapasitas melakukan creatio ex nihilo. Tapi setidaknya, aku selalu berusaha menyajikan sintesa setelah meramu tesa dan anti tesa para pendahulu dengan fakta empirik, baik dari pengalamanku pribadi atau amaliyah orang lain yang betul-betul kukenal dan kupelajari.

Harapanku, dengan cara itu teks yang kuproduksi bukan sekadar merepetisi pengetahuan. Bukan buket kembang, tapi putik bunga baru yang menyimpan madu.

Alasan lain aku belok topik pembicaraan: semalam Mha mampir ke rumah bersama seorang kawannya. Di antara ragam obrolan bapak-anak, ada terselip pertanyaan teman Mha yang mengejutkan. "Saya suka nulis cerpen, gimana caranya agar cerpen-cerpen saya dibaca orang?"

Menggelitik, tapi sebentar dinda, kita mundur setapak.

Beberapa hari sebelumnya, aku simak keprihatinan kanda Dais (Dahlan Iskan) tentang merosotnya kepercayaan publik pada media massa. Setelah tak cermati hasil survey Dewan Pers bekerjasama dengan Universitas Moestopo Beragama yang jadi acuan Dais, nyatanya tingkat kepercayaan itu masih tinggi.

72% adalah  skor tertinggi tingkat kepercayaan publik pada media massa (non daring) dari beberapa negara yang disurvey. Bahkan, bisa jadi itu level tertinggi seluruh dunia.

Tapi skor itu tetap mengkhawatirkan, sebab jika skor jatuh di bawah 60%, dinda boleh cemas bahwa salah satu pilar demokrasi sudah runtuh.

Bahwa Dais menyebut tingkat kepercayaan dimaksud melorot hingga  40%, itu karena dia membaca tabulasi hasil survey secara parsial. Sebabnya, survey membagi tingkat kepercayaan dalam dua kuadran: cukup percaya (sekitar 40%) dan percaya (sekitar 32%).

Dari survey itu, ternyata ada bacaan lain. Tingkat aksesibilitas publik terhadap media massa arus utama ternyata melorot.
TV, yang dulu sangat digdaya dengan platform audio visual itu mulai ditinggalkan pemirsa. Radio, yang cuma bermodal audio, kian jarang menyajikan narasi berita. Iklan dan hiburan adalah formulasi terakhir untuk bertahan.

Yang paling terpuruk tentu media massa berbasis teknologi cetak, wa bil khusus koran. Pantaslah jika Dais, mantan spiderman yang berhasil menguntai jaringan koran terbesar nasional itu menangis.

Aku tidak punya data bagaimana halnya dengan media literasi cetak lain semisal majalah, buku, dan komik. Mungkin setali tiga uang. (Kalau ada blogger di platform ini yang bersedia mengulas data dan fenomena itu, aku bakal kirim fatihah banyak-banyak buatmu kelak. Sungguh.)

***

Tapi dinda, karena aku bicara soal aksesibilitas, bukan tingkat kepercayaan publik yang jadi soal, melainkan derajat minat baca. Menurunnya konsumsi terhadap produk teks cetakan (selain faktor daya beli, kepraktisan, kemasan, dan sebagainya) tentu berkorelasi juga dengan hal gawat ini: minat baca publik menurun.

Apalagi dinda, kalau kita fokuskan menurunnya minat baca itu ke segmen satu generasi di belakang kita: anak-anak, generasi milenial, keprihatinan ini makin pekat saja.

Walau kau dan aku kini lebih sering menghabiskan waktu di depan layar LCD, setidaknya kita pernah punya masa ketika buku adalah jendela dunia. Dongeng dalam tulisan bukan sekadar transfer narasi dan pengetahuan (ta'lim), tapi pintu ajaib menuju dunia imajinasi tak bertepi.

Sekarang, demi kepraktisan, sejak balita anak-anak digenggami piranti sakti pembunuh imajinasi. Ketika gerbang sekolah dikunci pandemi, mereka kita gerujug kuota data, bukan tumpukan buku untuk dibaca.

Lagi, aku cuma bisa mengutarakan data berdasar hasil pengamatan terhadap lingkungan seluas yang mampu kucapai: anak-anakku dan kawan-kawannya. Ya, katakan saja aku nyontek teori perkembangan psikologi anak ala Jean Piaget yang obyek penelitiannya tak lain anak-anak dia sendiri.

Kawan Mha semalam, bocah 16 tahun yang suka nulis cerpen itu, selain gemar menulis (niscaya) juga gemar membaca. Maksudku bacaan berupa jejak pena di atas kertas, bukan refleksi kode biner di layar telpon pintar. Ini kejutan, sebab langka benar kukenal anak sebaya dia gemar membaca.

Hasil survey kecilku menyebutkan, kawan Mha itu satu di antara seratus. Tiga anak dan duapuluh empat keponakanku seusianya termasuk dalam 99 anak generasi milenial yang phobi pada tulisan di atas kertas. 70% dari yang 99 itu sukanya main game online, 30% sisanya lebih gemar ber-TikTok ria atau jenis medsos lainnya.

Gampangnya, dari seratus bocah yang kukenal, satu baca buku, sisanya melototin hape. Busuknya, kelompok yang melototin hape, tak ada yang baca kompasiana. Ups!

Dinda, dikau punya kapasitas dan fasilitas jauh lebih mumpuni untuk meneliti kasus serupa di ranah yang menentukan nasib lebih banyak, bahkan seluruh, anak bangsa. Aku berharap itu bisa kau perbuat di sisa waktumu pada kedudukanmu itu, dan meninggalkan solusi sebagai legacy.

Bagiku sendiri, risau ini menimbulkan tanya: bila jejak pena di atas kertas tersesat ke ambang sandyakala, apa biang keladinya?

Dinda, dengan gampang kita bisa mendakwa teknologi digital sebagai si kambing hitam. Produktifitas literasi melalui media digital rasanya sudah jauh meninggalkan nenek moyangnya yang lahir di hamparan kertas.

Hampir di semua aspek (termasuk cuan), algoritma teknologi digital menang telak atas teknologi cetak. Barangkali itu sebabnya banyak praktisi TV boyong ke dunia daring dan bikin siaran sendiri. Juga koran, juga majalah, juga perpustakaan dan pedagang buku, juga semuanya. Dinda paham benar soal ini, karena dinda sendiri adalah salah satu ikon kemenangan itu.

Sayangnya, teknologi digital yang menang cepat itu mengorbankan kedalaman. Walau novel, majalah, skripsi, dan buku-buku ganti wajah jadi e-book atau pdf lalu bermigrasi ke perpustakaan maya, coba tengok memori gadget ananda, adakah mereka di sana?

Tulisan panjang melelahkan mata. Cuitan-cuitan singkat lebih memikat. Gambar-gambar banal merampok perhatian, paparan mendalam menjemukan.  Membaca jadi modus kadaluarsa. Flashing, kilasan-kilasan yang hanya nempel sebentar di permukaan ingatan menggantikannya.

Dinda mungkin tak sempat kenal "Lampu Merah", koran lokal Ibukota buah karya Dais yang berlian sekaligus fenomenal (dan kemudian, konon, Dais menyesal pernah menerbitkan media massa model begituan).

Tipologi literasi media digital jaman sekarang yang membanjiri homescreen jendela dunia baru, sebelas duabelas lah dengan gaya Lampu Merah: yang penting judulnya, isi suka-suka saja.

Cukuplah, kita kembali ke pangkal soal.

Serasa baru kemarin aku punya kesibukan mengetik empat halaman teks dengan Words tiap Senin, mengonversinya menjadi dua lembar plat cetak pada Selasa dan Rabu, lalu mereproduksi tulisan itu menjadi ribuan lembar buletin dengan mesin stensil pada Kamis. Orang akan membacanya esok Jum'at di masjid-masjid. Laku itu panjang tapi mengasyikkan.

Masa-masa itu belum lagi lewat terlalu jauh, tapi bahkan Mha tak pernah tahu apa itu percetakan, apa itu stensil, apa itu buletin. Yang dia tahu, bapaknya tetap memproduksi teks yang bisa dibacanya di blog, facebook, dan grup WA. Tak ada lagi koran bekas apalagi baru di rumah.

***

Tapi dinda, sebelum kita menyerah pada nalar progresif peradaban, mari tak ajak dinda nongkrong di warung gorengan samping Balai RW di kampungku. Perbincangan remeh di  noktah mikroskopis di tengah bentang peta Nusantara itu barangkali bisa memperkaya sudut pandang kita.

Balai RW itu jarang dipakai untuk kegiatan warga. Konon, mantan RW yang mengklaim gedung itu berdiri berkat jasanya, tidak disukai orang karena arogan. Makanya, sejak beberapa tahun lalu Balai disewa untuk TK. Ramailah tiap pagi BMKG (Bakul Mendoan Kopi Gorengan) di sampingnya oleh emak-emak yang gabut nungguin anak.

"Jeng, sejak sekolah di TK, Sisca jadi pintar membaca lho. Padahal umurnya baru lima tahun. Memang Mbak Ina itu pinter kok ndidik anak kecil," Asti, emak muda itu memuji-muji Ina, guru TK. Tapi Putri, lawan bicara tetangga Asti tahu diplomasi: yang dipuji dan dibanggakan Asti adalah Sisca, anaknya sendiri.

Tadinya Putri tinggal diam. Tapi karena di grup RT  Asti  bolak balik mengunggah foto dan  video Sisca lagi membaca, lama-lama ia gerah juga. Diam-diam Putri menyewa Ina untuk mengajari Doni (5 tahun 7 bulan) anak Ina, di rumah sore hari harinya. Emak-emak lain yang tak mampu menyewa guru privat, menggenjot sendiri kebisaan membaca anak-anak mereka.

Waktu bermain dan mengeksplorasi lingkungan mereka berkurang. Naluri ingin tahu yang sedang musim kembang dirampok ketergesaan harus segera bisa.

Aku ingat kata-kata Piaget; sekali engkau mengajari balitamu sesuatu, seketika engkau sedang merampas kesempatan anakmu untuk menemukan sendiri pelajaran itu. Alangkah indah bila kau beri saja sarana-sarana dan kau bimbing mereka untuk menemukannya. Mungkin maksud Piaget, kita disuruh main petak umpet, sembunyi di tempat yang pasti ketemu.

Tapi siapa peduli? Setahun lagi bocah-bocah lucu itu masuk SD, dan salah satu syarat diterima masuk SD adalah calon siswa sudah bisa membaca. Menunggu berseminya minat mereka dengan sendirinya, keburu kadaluarsa.

Singkat kata dinda, kacamataku bilang, pendidikan di TK samping Balai RW itu bukan sarana pemenuhan hak anak atas pendidikan, tapi wahana mengumbar ekspektasi orangtua tentang pendidikan untuk anak mereka. Di TK-TK lainnya, engkau yang lebih permana.

Aku heran sekaligus sedih. Kok bisa ya, orangtua makin bangga kalau anaknya makin dini usia sudah pandai membaca? Apakah itu melulu soal over axpectation (hebatnya, English bisa membedakan antara "hope" dengan "expectation", kita cuma punya "harapan") atau karena kebijakan sumir tentang masuk SD harus sudah bisa baca?

Kebijakan itu lahir karena mengakomidasi kemalasan guru SD, atau karena beban muatan kurikulum membuat mereka tak punya waktu untuk mengajar baca tulis? Jawab dinda! Apa alasannya?

"Sobar.., sobar. Istighfar dong, Mas. Apa sih kelirunya kalau sejak usia dini anak kita sudah pandai membaca?" Kuandaikan begitulah dinda akan menjawab kegusaranku.

Seorang kawan, sewaktu masih nyantri di Bengkel Teater yang kurikulumnya disusun semau Rendra (semoga lancar jalanmu kembali padaNya) pernah bilang padaku bahwa pengajar di tingkat PAUD dan TK itu mestinya para Profesor Doktor Psikologi Anak. Tidak boleh kurang! Kenapa?

Bukan dia yang menjawab, tapi Piaget dan Rudolf Steiner. Apa jawab mereka?

Kau cari tahulah sendiri, jangan malas-malasan begitu. Yang pasti, pendidik harus ngerti benar derajat kematangan ragam kecerdasan pada anak. Tapi kalau dinda memaksa, aku cuma mau ngasih warning sebagaimana dikatakan  Steiner:

Membaca itu ilmu sakral ("Iqra! Iqra! Iqra!" kata Gabriel pada Muhammad). Ia sarana utama sejauh mana segenap potensi positif dalam diri manusia bisa berkembang. Maka, proses penguasaannya tak boleh buru-buru dan harus menyenangkan.

Jika proses itu sembarangan, apalagi penuh tekanan, anak mungkin pandai membaca, tapi dia tidak akan senang membaca. Sebab proses belajar membaca tanpa partisipasi aktif anak, alih-alih merangsang keingintahuan, malah jadi beban dan siksaan. Tanpa sadar, trauma kau tanam jauh di bawah sadar mereka.

Nah dinda, kalau hari ini kita menuding dengan telunjuk tegang bahwa teknologi digital adalah penyebab merosotnya minat baca milenials, kenyataannya: jari tengah, jari manis, dan kelingking kompak mengarahkan tuduhan ke hidung kita, orangtua dan para pendidik yang jadi komplotannya.

Cukup sampai di hidung kita saja, tak perlu kita ganti tunjuk hidung orangtua kita, orangtua orangtua (embah) kita dan seterusnya. Soal ini, sudah berulang kubilang bahwa tujuan dunia pendidikan (sekolahan) kita sejak dari sononya memang bukan untuk membebaskan, tapi memenjara. Modelnya behaviouris, bukan humanis. 

Duhai.., yang lalu biar lalu. Sejarah itu takdir, pilihan ada di hari ini, dan harapan tinggal di masa depan.

Ah, mungkin panjang lebar nyinyiranku ini tidak ngaruh buatmu dinda. Sebab amanah 20% APBN itu nyatanya hanya untuk melanggengkan status quo rezim pendidikan zaman lampau. Rezim die hard  yang tupoksinya menggiring peserta didik ke gerbang pabrik-pabrik.

Dinda, sandyakala jejak pena barangkali kau anggap takdir semata. Produk tua yang layaknya dikorbankan demi laju peradaban. Malah, pinjam jargon JK dulu: lebih cepat lebih baik.

Ya, secepat dulu kau antar pizza ke wajah di depan layar hape dengan pasukan ojol yang lebih percaya instruksi mbak google ketimbang rambu-rambu jalan raya. ***

Nota bene; teriring sajak ringkas untuk dinda yang terinspirasi kata "education", adaptasi dari Latin "e ducare" artinya menuntun keluar:

Guru

Lihat, langkah-langkah kecil meniti setapak menuju gerbang taman. Lihat, rona semangat memancar bagai cahaya melahap kegelapan. Sambut mereka sebagai raja-raja wahai Tuan dan Nyonya, bukan sebagai domba-domba, sebab engkau penuntun bukan gembala. Pentang lebar-lebar regol taman kebebasan wahai dayang sang raja, iringi saja pengembaraan mereka dengan cinta,  sebab engkau pendidik bukan sipir penjara. ***

Akhirnya, obrolan Cak Nun cs. ini boleh dijadikan renungan:


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun