Seisi  kelas makin ketat meletakkan tangan di atas meja.
"Yang tidak punya pendapat?"
Antusias aku mengangkat tangan. Logikanya, ketika dua pilihan diajukan dan tak satupun diambil, artinya kan tidak memilih. Faktanya, aku memang tidak tahu landasan hukum membaca Qur'an apakah harus bersuci dulu atau tidak.
Tapi keluguanku itu memicu ledakan tawa seisi kelas. Dan anehnya, pak guru tidak ikut ketawa. Mukanya berubah masam. Lalu meluncurlah dari mulut beliau cercaan demi cercaan, bahkan ada beliau menyamakanku dengan donkey.
Ya, donkey, bukan keledai. Sebab pak guru mem-bully-ku habis-habisan dalam English. Kata-kata semacam dumb, stupid, idiot dan kamerad-kameradnya baris kayak pawai tujuhbelasan.
Busyet dah, dikiranya aku gak ngerti makna kalimatnya. Lagipula, apa salahku? Maka boleh dong aku membalas, "Excuse me, Sir... " dan seterusnya. Kali ini pake logat Liverpool yang kaya slank.
Dan sesudahnya aku di-DO lagi walau alasan legalnya bukan melawan guru tapi karena aku bertatto.
Sejak itu aku malas melanjutkan sekolah.
Di luar sekolah, hobi (hobi lo ya, bukan kewajiban) menuntut ilmu ternyata lebih gampang dan murah disalurkan. Aku bebas memilih ilmu apa yang kusuka untuk dipelajari, baik dengan cara baca buku atau praktek langsung.
Yang belakangan itu karena setelah mogok sekolah, kalau malam aku suka nongkrong di warung nasgor tetangga. Bantu-bantu merajang bawang sampai lihai, masak sendiri kalau mau makan, sampai mbuatin aneka minuman pesanan pelanggan. Ilmu yang ternyata lebih berguna ketika nanti aku berumahtangga ketimbang ilmu yang sepuluh tahun kupelajari di bangku-bangku sekolah.
Waktu teman-teman seangkatanku kuliah, kakakku yang kuliah di IPB rupanya kasihan lihat aku lontang-lantung sorangan. Diajaknya aku ikut dia ke Bogor dengan cara berkirim surat padaku.
Surat itu hasil printout, tapi hurufnya bersambung. Kata kakak, dia pakai program komputer mutakhir untuk menulis surat itu. Kalau aku mau ikut dia ke Bogor, aku mau diajari komputer. Wih.., asyik nih.