Untuk dinda Dim:Â
Kabar baik itu ternyata bikin heboh. Pertengahan tahun lalu Mha, anak sulungku, mogok sekolah. Ia pulang ke rumah neneknya di Salatiga waktu libur Idul Fitri dan tidak mau kembali ko Jogja.
Padahal waktu itu mestinya Mha menempuh ujian kenaikan kelas di sebuah Madrasah Aliyah di Jogja, tempatnya bersekolah.
Lulus SMP, sang ibu berinisiatif memondokkan Mha di sebuah pondok pesantren di Jogja sekaligus melanjutkan sekolah. Masa itu awal pandemi Covid-19, sekolah-sekolah dilarang melangsungkan pembelajaran tatap muka. Mha mengeluh karena dia mondok sendiri, tak ada yang membimbing dalam menyelesaikan tugas-tugas daring dari sekolah. Tidak guru ngajinya, tidak pula kedua orangtuanya.
Gejala depresi mulai muncul. Ia mengalami kesulitan mengekspresikan isi hatinya. Puncaknya itu tadi, Mha enggan melanjutkan sekolah.
Aku, bapaknya, sudah sedari awal menduga hal itu. Bukan lantaran situasi complicated  keluarga kami yang membuatku tak berusaha mencegah kejadian itu, tapi asal tahu saja, aku sengaja kutunggu momentum "pemberontakan" itu.
Ketika usia Mha sudah tujuh tahun, aku tidak mendaftarkannya sekolah. Kubiarkan saja dia bermain sesuka hatinya. Pak Kades waktu itu menegurku dan bilang kalau aku tidak mampu menyekolahkan Mha, beliau sanggup menanggung biyayanya. Aku tidak tersinggung, hanya senyum saja dan bilang, "Ya deh Pak Kades, nanti saya sekolahkan dia. "
Itu strategi buying times sekaligus menghindari debat. Mustahil rasanya berdiskusi dengan Pak Kades tentang filosofi deschooling society ala Ivan Illich. Tanpa maksud merendahkan tentu saja, sebagaimana Pak Kades juga tidak bermaksud menghina waktu bilang beliau sanggup tanggung biyaya sekolah Mha.
Kakak sulungku, lebih tahu cara menghadapi adik bungsunya. Tanpa ba-bi-bu atau bla bla bla, beliau langsung mendaftarkan Mha di sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Tentu setelah melakukan "intimidasi" kecil-kecilan pada ibu Mha  agar berani menentang tirani suaminya.
Okelah, kompromi itu terjadi juga dengan S dan K yang kudu berlaku. Aku membebaskan Mha (dan kemudian adik-adiknya) setiap pagi untuk memilih: hari ini mau masuk sekolah atau mbolos.
Aku tidak akan "memarahi" mereka andai nilai pelajaran sekolah mereka rendah dan tak akan memuji kalau bagus. Aku tegas melarang mereka mengerjakan PR. Kalau ada PR, anak-anak berangkat pagi-pagi agar bisa nyontek jawaban teman.