Mohon tunggu...
Maz Jack
Maz Jack Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berita Sensasional "Identik" dengan Hoaks

8 November 2017   23:01 Diperbarui: 8 November 2017   23:21 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SETIAP hari bertebaran berita hoax di sekeliling kita. Mau tak mau kita akan bersinggungan dengan berita-berita yang patut diragukan kebenaran tersebut. Berita-berita palsu itu terus menjamur seiring menjamurnya berita media online yang tidak memiliki kredibilitas atau abal-abal. Belum lagi pemilik akun tertentu, begitu mudah dan bebas mengunduh dan menyebarkan berita bohong dengan mudah tanpa ada filter yang menyeleksi berita-berita itu. Semakin terbuka kesempatan orang untuk menyebarkan berita-berita bohong, menyebarkan fitnah, mendeskreditkan orang lain, memecahbelah persatuan, isu SARA dan masih banyak lagi.

Saat ini, ada sekitar 2.000 media online yang tercatat di Dewan Pers. Tetapi, yang sesuai dengan kaidah jurnalistik dan mempunyai kelayakan sebagai perusahaan hanya sekitar 211 media. Sungguh memprihatinkan.

Banyaknya berita hoax yang semakin tak terbendung belakangan ini, menurut Ketua Dewan Etik Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Bagir Manan, merupakan dampak negatif dari kebebasan pers yang tidak bertanggungjawab. Apapun alasannya, institusi pers harus mempertanggungjawabkan konten berita kepada publik.

Maraknya berita online tak lepas dari pola konsumsi masyarakat. Kenapa banyak masyarakat yang lebih menyukai membaca berita-berita seperti itu?  Berita hoax  memang isinya gosip dan isu kontroversial sehingga mempunyai daya tarik tersendiri.

Namun harus disadari dampak dari berita hoax tersebut bisa merugikan pribadi orang tertentu, organisasi, institusi, kelompok serta lembaga tertentu. Misalnya, judul atau isi berita yang tidak akurat bisa menimbulkan opini negatif yang bisa merugikan pihak tertentu. Selain itu, bisa memberikan reputasi buruk terhadap seseorang/sesuatu, misalnya kita main share tanpa diteliti kebenaran padahal berita tersebut hoax, tentu akan membuat image seseorang menjadi buruk.

Kemudian, fitnah pun bisa tercipta melalui berita hoax yang tersebar. Masyarakat gagal mendapatkan informasi yang benar karena berita yang disebar itu ternyata palsu. Berita-berita hoax yang menebarkan kebencian bisa menciptakan perpecahan atau perang antarkelompok.

Di era digital seperti saat ini, kita tidak bisa menghindar dari berita-berita semacam itu. Bisa jadi, kita sudah berusaha memproteksi diri dengan hanya membaca berita dari konten media resmi yang layak dipercaya. Namun, kita tidak bisa menghindar kalau tiba-tiba dapat kiriman berita atau foto dari orang lain, yang isinya tidak bisa dipercaya.

Menyikapi kondisi seperti itu, diperlukan kecerdasan untuk menentukan sikap. Setiap berita yang masuk harus dilakukan cek and ricek. Dengan cara itu akan teridentifikasi berita hoax atau bukan. Diantaranya dengan :

1. Mewaspadai judul yang provokatif

Judul yang sensional sengaja diciptakan dengan tujuan menarik pembaca, padahal tidak sesuai dengan fakta yang ada.

2. Mencermati situs yang menyebarkan

Apabila berita itu diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi -misalnya menggunakan domain blog, maka informasi tersebut belum layak dipercaya.

3. Memastikan fakta itu ada

Harus bisa dipastikan fakta itu ada, siapa sumber berita ? Apakah institusi resmi atau bukan ? Sebaiknya jangan lekas percaya apabila informasi berasal dari orang-orang yang mempunyai kepentingan, seperti pegiat ormas, tokoh politik atau pengamat. Jangan sampai kita terjebak oleh opini padahal fakta tidak ada.

4. Memastikan keaslian foto

Di era teknologi digital, bukan hanya konten teks yang bisa dimanipulasi,  konten foto atau video pun sama. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Misalnya, mereka mengedit foto, dengan cara meng-cropping kemudian menggabungkan sesuai kemauan, seolah foto tersebut asli. Untuk memastikan keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.

Bila kita sudah bisa mengidentifikasi berita hoax, sebagai pendidik, minimal harus bisa mengedukasi kepada anak didik atau keluarga agar tidak mudah dipermainkan dengan berita hoax. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan saat menerima kiriman berita yang isinya kontroversial atau sensasional, diantaranya :

1. Jangan langsung percaya terhadap setiap berita

Setiap berita yang kita terima harus dilakukan kroscek. Dari mana dan siapa sumbernya. Kalau berasal dari media abal-abal lebih baik dikesampingkan. Apalagi sumber beritanya juga tidak jelas. Patut dipertanyakan kebenarannya.

2. Jangan langsung mengunduh atau menyebarkan terhadap setiap berita yang diterima. Biasanya, kalau kita melihat sesuatu yang kontraversi atau janggal, penginnya langsung meng-upload di media sosial. Sebab, bisa langsung mendapat banyak respon dari para netizen media sosial lainnya. Dengan harapan, komentar mereka bisa menjawab kebingungan kita.  Namun, kalau kita sendiri tidak yakin dengan isi berita tersebut, sebaiknya urungkan niat untuk mem-posting-nya di media sosial.

3. Mencari informasi pembanding.

Setiap kali mendapatkan berita yang mengandung kontraversi atau kejanggalan, sebaiknya cari pembanding di internet. Kita bisa browsing di situs-situs resmi untuk memastikan kebenaran berita tersebut.

4. Menahan diri untuk berkomentar dan share

Salah satu fitur unggulan media sosial adalah kita dapat dengan cepat berkomentar dan menyebarluaskan suatu informasi. Kalau melihat isu yang berkaitan dengan SARA ataupun berita-berita yang memicu kontroversi, jangan ikut berkomentar negatif. Tahan diri  untuk merespon, bahkan langsung share.

Di era digital seperti saat ini, rasanya sulit untuk menghindari berita hoax, baik yang dikirim maupun yang kita baca dari media oneline maupun media sosial.

Penulis pun berulangkali menerima berita hoax yang justru dikirim oleh teman-teman sendiri, melalui grup WA maupun BBM. Misalnya, informasi berisi ajakan agar menyebarkan informasi tentang ulang tahun perusahaan atau tokoh tertentu, bagi yang mengirimkan kepada sekian orang akan mendapatkan tambahan pulsa sekian atau imbalan yang lain. Meski merugikan, namun berita hoax di atas dampakanya belum seberapa.

Lain dengan berita hoax yang menginformasikan tentang produk makanan tertentu yang diolah menggunakan daging babi, misalnya. Ini tentu dampaknya lebih luas, bisa merugikan perusahaan tersebut. Bukan tidak mungkin, mayoritas warga Indonesia yang merupakan umat Islam akan memboikot produk tersebut.

Yang paling membahayakan kalau berita hoax yang menyebarkan isu SARA. Misalnya, ada orang dari agama tertentu diberitakan telah membakar kitab suci umat tertentu. Dampaknya bisa sangat panjang dan luas. Apalagi yang dirugikan adalah umat Islam bisa terjadi perselisihan, perpecahan, bahkan bentrok fisik, bila tidak segera diantisipasi.

Tak bisa dipungkiri berita-berita di atas memang menarik dan mengundang minat setiap orang untuk membacanya. Namun, penulis memilih berhati-hati. Tidak segera merespon atau menyebarkan informasi tersebut. Bahkan, saking banyaknya informasi yang di-share tidak semua kami baca.

Penulis sudah memproteksi diri dengan memilih berita dari konten-konten resmi yang bisa dipertanggunjawabkan. Kalau pun mendapatkan kiriman berita-berita seperti itu, lebih banyak diabaikan. Memang ada satu dua berita yang sempat dibaca, namun tidak untuk dipercaya. Namun, kita akan membandingkan dengan berita yang dimuat di konten-konten resmi.

Dengan dampak hoax yang demikian besarnya, sebenarnya pemerintah melalui Kementrian Kominfo melakukan langkah antisipasi untuk mengurangi penyebaran hoax, selain melakukan pemblokiran pada situs yang diduga memiliki unsur negatif, juga akan melakukan edukasi pada jurnalis dan masyarakat

Selain pihak pemerintahan, diibutuhkan lapisan lainnya untuk mengajak masyarakat lebih 'melek' terhadap berita hoax. Beruntung, muncul gerakan-gerakan anti hoax kini juga ikut mengedukasi masyarakat melalui sosial media Facebook, serta dibutuhkannya media yang konsisten untuk memberikan berita yang akurat

Dewan Pers juga telah  meminta pemilik media online agar mendaftarkan perusahaan sehingga bisa segera diverifikasi. Verifikasi tersebut akan berdampak positif bagi media siber itu sendiri. Yakni akan mendapatkan kepercayaan dari pembaca maupun pemasang iklan. (***)

karya : joko suroso guru smk alqodiriyah magelang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun