Apakah pengakuan Profesor Romli Atmasasmita yang tercatat di sejumlah pemberitaan media massa, benar adanya? Di pemberitaan cnnindonesia.com pada tanggal 11 Juli 2017, Romli membeberkan sebetulnya ada masalah ketidaksukaan pimpinan KPK kala itu terhadap Hadi.
Ketidaksukaan itu, kata Romli dilakukan dengan cara menetapkan Hadi sebagai tersangka usai pensiun menjabat sebagai Ketua BPK.
"Dia ceritakan bagaimana hubungan dengan pimpinan KPK ketika itu tidak baik. Sehingga muncul cerita Hadi ada ancaman. Sehingga ketika pensiun dijadikan tersangka," begitu katanya waktu itu.
Pengakuan Romli dan fakta perbedaan perlakuan terhadap tiga hasil praperadilan yang diceritakan tadi setidaknya menunjukkan kalau ada kesan KPK bersikap tebang pilih kasus. KPK kencang di satu kasus tertentu, namun kendur di kasus lainnya. Ada apa?
Kasus Besar
Kesan pilih-pilih kasus juga tampak pada kasus-kasus besar seperti BLBI dan Century. Di tahun 2016 lalu, mengutip pemberitaan sindonews.com yang berjudul Kasus Century dan SKL BLBI Tutup Buku pada tanggal 13 September 2017, KPK sebetulnya pernah memutuskan menutup dua kasus besar ini.Â
Pada perkembangannya, hanya kasus BLBI kembali diangkat KPK. Syafruddin Arsyad Temenggung yang merupakan mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mereka tetapkan sebagai tersangka.Â
Demi pemberantasan korupsi, KPK patut diapresipasi. Tapi di sisi lain tindakan ini juga penuh dengan tanda tanya, sebab yang satu-satunya dibidik mereka hanyalah surat keterangan lunas atau SKL dari satu obligor saja, yakni BDNI. Kenapa tampak begitu menunjukkan kengototan pada kasus yang sebetulnya fragmen kecil dari keseluruhan kasus BLBI ini. Â Lagi-lagi timbul pertanyaan. Ada apa? Kenapa cuma itu?
Wajar kok jika ada yang mempertanyakan ini. Kenapa bisa begitu? Nah, pada tanggal 30 November 2006 silam, ketika Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menerbitkan audit Nomor 34 G/XII/11/2006 dalam rangka penutupan BPPN, juga memutuskan bahwa SKL layak diberikan karena pemegang saham BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya sesuai INPRES No 8/2002.
Bukankah hasil audit itu harusnya jadi acuan KPK. Lantas kenapa KPK kemudian mesti meminta BPK mengaudit kembali yang hasilnya mengindikasi kerugian keuangan negara sekitar Rp4,58 triliun. Audit BPK buat hal yang sama bahkan pernah dilakukan 3 kali. Hasilnya? Ya sama! Lantas, kenapa kali ini beda?
Tidak diungkitnya obligor dana BLBI lain juga menghadirkan teka-teki tersendiri. Sebab selain BDNI, BPPN sebetulnya juga memberikan SKL terhadap 21 obligor lainnya.