(Sumber gambar: http://kwartetpunakawan.blogspot.co.id)
Saya dan isteri merasa tersanjung menjadi VVIP ketika memperoleh undangan pribadi dari Jaya Suprana untuk hadir di Café Lara Jonggrang.
Saya tak bermaksud melakukan 'balas budi' memenuhi undangan Jaya Suprana ini. Sebulan lalu bersama sembilan tokoh nasional, Jaya Suprana memberikan Kata Pengantar di buku saya "Jalan Tikus Menuju Kekuasaan" terbitan Gramedia. Di situ Jaya Suprana mengungkapkan rasa takjubnya karena -- katanya -- saya sudi berenang di rawa-rawa politik. Saya penasaran karena seorang kawan yang pernah menyaksikan resital ini serius menganjurkan saya agar menyaksikannya.
Jujur, mulanya saya agak ragu. Ada kekhawatiran diri bakal pening karena disuguhi karya Mozart atau requiemnya Faure. Alhamdulillah ternyata meleset total.
Bersama Jubing Kristanto, gitaris legendaris yang empat kali meraih predikat terbaik di negeri ini, lalu Junaedi Sulaeman, jawara perkusi asal Jatim dan Heru Kusnadi yang dianugerahi “Pemetik Bas Emas”… Humorolog sekaligus Kelirumolog sekaligus Jamulog ini menggelar Resital Punakawan Quartet.
Karena alasan klasik macet, saya agak terlambat hadir, sehingga ketinggalan ‘ Es Lilin’ dan “Jenang Gula’, dua dari Sembilan lagu unggulan yang mereka gelar di samping sepuluh lagu lain yang dikelompokkan dalam paket ‘Suita Marzukiana’, karya-karya abadi Ismail Marzuki.
Setelah hari demi hari seakan menjejalahi pengembaraan panjang menjelajahi gurun kering, Jaya Suprana dan kawan-kawannya mengajak kami menuju oase. Denting piano yang bening, petikan gitar yang jernih, dentam bas ditingkah kemplangan perkusi ritmik… membuat tujuh puluh lima menit itu mengggelinding singkat dan tahu-tahu habis.
Tatkala jari-jemari Jaya yang jauh dari lentik itu dengan lembut menekan bilah-bilah piano, mengalirkan ‘Tombo Ati’ yang ngelangut dan sunyi. Kami serasa disorong memasuki ruang senyap untuk berkontemplasi dalam kebersendirian sebagai makhluk maha kecil yang tak berdaya di hadapan Yang Maha Besar. “Tombo Ati… ono limo perkarane, sing kepisan moco Qur’an lan maknane…”.
Namun dalam “Tahu Pong Blues’ yang ia ciptakan, Jaya Suprana seakan merengkuh kami untuk melonjak-lonjak jenaka bagai lampu indikator di amplitude panel sound-system. Tepukan demi tepukan membuncah di akhir setiap lagu.
Ketika sampai pada sajian melo akbar Ismail Marzuki ‘Lambaian Bunga’, Jaya Suprana tampak mencuri-curi kesempatan untuk menyeka matanya yang basah. Ia menangis. “Nun jauh di sana… di lembah tanah airku…”. Musiknya merintih menorehkan sayatan getir, menuntun kami untuk bertanya… ke mana gerangan perginya keelokan Ibu Pertiwi kini.
Saya serasa dilontarkan Jaya Suprana ke puncak klimaks melalui lagu ini. Dengan musik Jaya menggandeng tangan kita semua untuk meretas, menelusuri dan menemukan bahwa ada yang salah dalam tatanan hidup bersama kita.
Tenda besar yang bernama Indonesia itu tak lagi teduh. Pohon-pohon hijau rindang kohesi sosialnya mulai meranggas. Di jalan-jalan, di ruang-ruang sidang, di warung-warung begitu mudah kita menemukan orang-orang yang gampang meradang
Jutaan saudara-saudara kita kalah dalam perlagaan antar manusia. Mereka dipaksa oleh peradaban masuk ke dalam arena yang tak mereka pahami. Mereka terpental keluar dari gelanggang sirkuit kemanusiaan. Dengan kapasitas dan kemampuan lari dan mesin berbeda, mereka harus berpacu menempuh lap yang sama, di bawah hujan sorak-sorai penonton yang menyandang jubah kebendaan dan gaun hedonitas.
Para pecundang tercampak menjadi marjinal di tengah pembangunan, mengais-ngais keberuntungan sekadar untuk dapat bertahan hidup di tanah airnya sendiri. Mereka yang kalah besar kemungkinan akan kembali kalah, dan akan melahirkan generasi-generasi yang selalu kalah, sebagaimana teori dasar ilmu sosial yang mengatakan bahwa kemelaratan akan melahirkan kemelaratan.
Dan tepuk tangan selalu membahana bagi mereka yang menang.
Tiba-tiba saya lancang mengatakan bahwa Jaya juga merasakan apa yang saya rasakan. Atau dibalik, saya merasakan apa yang ia rasakan. Bahwa itu semua bukanlah wajah asli kita sebagai bangsa. Ia hanya bayang-bayang peradaban semu yang mengejawantah, dan tengah jumawa melangkahkan kaki raksasanya menuju beranda rumah kita. Kita tak kuasa menampik kehadirannya, karena sekat dan ruang privat kita sebagai bangsa akan segera meleleh.
Beruntunglah Jaya tidak membiarkan kami terus menangis. Ia juga mengungkapkan rasa takjubnya. Betapa seorang manusia Indonesia bernama Ismail Marzuki bisa menciptakan musik yang sangat indah. Padahal menurutnya, Ismail Marzuki sering melanggar kaidah-kaidah baku dalam seni musik. Jaya tahu persis itu. Ia benar-benar seorang maestro.
Resital musik yang tertata apik, sungguh bagai guru tua yang arif. Mengajarkan kita akan hakekat kerjasama. Bekerjasama, bukan sekadar bekerja bersama-sama. Juga menuntut kesediaan berkorban. Seberapa rela kita membuang ego individualitas demi kepentingan bersama?
Seperti Jaya. Junaedi dan Heru dalam sebuah lagu, rela diam sejenak untuk memberi kesempatan kepada Jubing untuk meraup tepukan publik dan menonjol sendirian memetik dawai gitarnya dengan mempesona. Atau peran sebagai Jaya yang duduk di depan piano malam itu, yang ikhlas membelakangi penonton sehingga wajahnya tak terlihat hingga pertunjukan usai.
Ketika bait terakhir “Halo-Halo Bandung’ yang dibungkus dalam nuansa March dan Polka usai, serentak kami semua berdiri memberikan standing applause. Si “Serba Bisa” Jaya Suprana dan tiga punakawan lainnya berdiri memberikan hormat kepada penonton.
Ketika kami pulang dan sampai di depan pintu rumah, handphone saya berdenting. Terbaca sms yang masuk: “Kami bahagia, dapat membawa bahagia bagi Anda dan isteri. Salam, Jaya Suprana”.
Membagi kebahagiaan, dengan rasa hormat.
Di tengah merebaknya sikap individualistik, sungguh tak banyak orang yang merasa berbahagia jika bisa membagi kebahagiaannya.
Di tangan kuartet Punakawan, ‘Gambang Suling’, ‘Ayam den Lapeh’, ‘Sepasang Mata Bola’ atau ‘Gambang Semarang’... mengejawantah memijarkan segala keunikan, kejenakaan, keharuan dan keindahan Indonesia. Sekaligus menggeledah jiwa kita untuk menemukan kembali mutiara-mutiara bangsa di balik banjir bandang musik asing. Musik kita sendiri luar biasa!
Saya menjawab sms Jaya Suprana itu dengan kalimat pendek: “Terima kasih Pak Jaya… resital Anda, sungguh bagai oase di tengah teriknya gurun”.
Meskipun ia seorang Humorolog yang gemar tertawa, saya yakin bahwa kali ini ini ia akan serius memaknai sms saya yang jauh dari humor itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H