Satu enigma atau teka-teki besar di dunia penerbangan adalah pertanyaan: Mengapa kita selalu ingin buru-buru duluan keluar dari pesawat.
Di akhir perjalanan dengan kapal terbang tentu kita pernah menyaksikan, atau bahkan pernah melakukan: Begitu pesawat parkir di apron dan lampu sabuk pengaman berubah dari merah ke hijau, penumpang atau kita buru-buru mengambil tas atau barang di bagasi atas lalu bergerak berdiri mengantri di gang, ingin cepat keluar.
Ya kalau lampu sabuk pengaman sudah menyala hijau. Seringkali terjadi bahwa lampu itu masih merah dan kita sudah bergerak mengambil barang, berdiri mengantri dan sebagainya.
Padahal setelah berada di luar pesawat nantinya, para penumpang masih harus mengalami berbagai antrian lagi sebelum benar-benar bisa keluar dari pintu bandara dan bertemu driver penjemput, gebetan penjemput, bis atau kereta bandara.Â
Untuk penerbangan domestik, minimal masih ada antrian mengambil barang di ban berjalan. Untuk penerbangan internasional masih ditambah lagi dua antrean: Imigrasi dengan petugas-petugasnya yang manis, ramah senyuman dan lingkungan, dan bea cukai dengan mesin pemeriksa barangnya.
Aneh bukan?
Dari pengamatan saya pribadi (nama saya Jepe, bukan Pribadi), ada 2 (dua) alasan utama mengapa kita ingin buru-buru keluar duluan dari pesawat.
Pertama, ingin segera mengakhiri stres berperjalanan dengan moda pesawat
Harus diakui moda pesawat adalah moda perjalanan dengan tingkat stress bagi penumpang yang cukup tinggi.
Stres ini bisa dimulai dari rumah saat mengepak barang-barang ke dalam tas atau koper. Aturan berat maksimum koper, aturan barang-barang yang (tidak) boleh dibawa, terutama di perjalanan manca negara sudah merupakan stress tersendiri.
Proses pemberangkatan di bandara bisa menjadi sumber stress kedua. Untuk penerbangan domestik, kita masih bisa mepet-mepet sampai di bandara 1 jam sebelum pesawat kita mengudara.
Tapi penerbangan internasional mewajibkan kita minimum sampai di bandara 2 jam sebelumnya. Saat aturan pandemi masih ketat, bahkan kita harus ada di bandara 3 jam sebelumnya.
Belum lagi jika jarak antara tempat tinggal dan bandara cukup jauh. Jam berapa kita harus berangkat dari rumah? Naik apa? Ini adalah sumber stress berikutnya.
Bagi sebagian penumpang berada di ketinggian (acrofobia) di udara atau di ruang tertutup (klaustrofobia) dalam waktu lama adalah hal yang sangat merisaukan. Ditambah ketakutan adanya resiko tertular penyakit karena berada di ruangan tertutup tanpa jarak yang memadai antar manusia juga penghasil stress yang cukup penting.
Potensi stress terakhir tentu adalah segala prosedur dan seremonial di bandara kedatangan. Imigrasi, pengambilan barang, bea cukai, mencari menjemput, dan lain-lain jelas bukan hal yang enak untuk dilakukan. Bisa segera melewati hal-hal itu tentu akan sangat mengurangi stress.
Kedua, kecenderungan bahwa manusia ingin beraksi bukan menunggu
Menunggu itu membosankan. Secara prinsip, duduk diam di bangku pesawat selama penerbangan bisa jadi tidak berbeda dengan duduk di bangku tunggu puskesmas, rumah sakit atau, kantor pelayanan umum lainnya.Â
Walau disuguhi penganan dan hiburan selama penerbangan, prinsip duduk dalam antrian dan menunggu tidak berubah.
Di samping itu kodrat manusia adalah untuk beraksi. Et facere et pati fortia Romanum est. Adalah kodrat orang 'Romawi' untuk beraksi dan melakukan hal-hal yang heroik.
Seperti orang Romawi yang disebut sejarawan Titus Livius itu, tentu ketimbang duduk diam di bangku pesawat, tentu kita cenderung ingin segera bisa keluar, beraksi, melakukan hal-hal selanjutnya.
Di luar dua alasan di atas tentu ada alasan-alasan lain.Â
Ingin ke segera stopover ke kamar kecil bandara adalah salah satunya, yang mungkin disebabkan karena penumpang tidak betah memakai kamar kecil pesawat yang sempit dan sangat tertutup rapat. Kangen dengan yang menjemput mungkin adalah alasan lain lain lagi, seperti halnya kangen dengan koper yang yang akan keluar belakangan lewat ban berjalan.
Yang mana alasan Anda?Â
Apakah Anda bagian dari mereka yang punya stress tinggi saat terbang, atau Anda adalah (wo)man of action seperti orang-orang Romawi, atau Anda sudah ingin buru-buru buang air kecil di WC bandara, atau Anda adalah mereka yang sudah kangen dengan koper atau dengan driver (so sweet)?
Atau Anda tidak punya alasan dan termasuk mereka yang tetap duduk anteng sampai menunggu giliran deretan bangku Anda tiba?
Saya pribadi (saya Jepe, bukan Pribadi) melihat ada 2 macam penumpang yang bertindak demikian.Â
Pertama adalah para manusia usia lanjut (manula) dan keluarga yang membawa anak-anak kecil yang duduk di kelas ekonomi yang memang menghindari terlalu lama berdiri mengantri di gang pesawat atau bergerak berdesak-desakan dan kedua adalah kaum slow alias kaum ora kesusu yang memang tidak ingin buru-buru.
Apa kira-kira alasan kaum ora kesusu, kaum slow alias mereka yang tidak ingin buru-buru untuk bisa bertahan duduk di bangku pesawat sampai giliran mereka tiba?
Satu alasan utama yang saya lihat adalah bahwa, mungkin mereka adalah orang-orang yang percaya pada sistem.
Sistem dibuat manusia lewat berbagai peraturan untuk melancarkan segala urusan. Dalam sistem terkait mobilitas manusia di pesawat maupun di bandara, peraturan dibuat agar pergerakan manusia dan barang bisa terjadi dengan lancar dengan kecepatan yang maksimal secara keseluruhan.
Percaya pada sistem artinya percaya bahwa jika semua orang mengantri maka pada akhirnya semua orang secara rata-rata akan lebih cepat keluar bandara dibandingkan jika ada yang tidak mengantri.
Hal ini jelas terjadi pada semua sistem antrian. Jika ada pelaku yang bergerak di luar sistem, maka sistem itupun akan terganggu dan tidak berfungsi dengan optimal.Â
Selain di pesawat atau di bandara, hal ini juga terjadi di lalu-lintas di jalan atau di antrian-antrian lainnya seperti di pelayanan publik. Adanya pelaku yang menyerobot, sodok-sodokan, enggan mengantri hanya menyebabkan kemacetan pada antrian yang pada akhirnya hanya menyebabkan keterlambatan untuk semua pelaku secara umum.
Tentu kepercayaan pada sistem yang dianut para kaum slow alias ora kesusu ini berlandaskan pada asumsi bahwa semua orang atau pelaku yang terlibat pada sistem adalah orang-orang altruis yang juga percaya pada sistem dan memikirkan kepentingan orang lain atau bersama dan bukan orang-orang egois yang mementingkan kepentingan sendiri.
Jadi bagaimana sekarang?Â
Masih ingin jadi manusia egois yang suka kesusu dan ingin cepat-cepat keluar pesawat atau jadi manusia altruis yang slow, ora kesusu yang percaya pada sistem?
Pilihan baik ada pada manusia berhikmat. Fix no debat.Â
- 16 Desember 2022, pangkalan/halte ojol dekat JPO Senayan -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H