Bagi kita yang sedikit banyak pernah bersinggungan dengan kota Solo atau Surakarta di Jawa Tengah, tentu akan setuju bahwa kota ini menyimpan banyak misteri.Â
Hal ini tentu tak lepas dari sejarahnya yang panjangnya yang penelusurannya tidak cukup berhenti pada masa penjajahan Belanda atau pada jaman Mataram Islam tapi lebih jauh lagi ke masa Homo Erectus mendiami lembah dan aliran Bengawan Solo yang melewati sisi timur Solo.
Selain karena sejarah panjangnyanya, Solo juga tak pelak sangat istimewa karena portofolio kulinernya.Â
Jika kita gabungkan sejarah dan kuliner, maka akan muncul misteri yang hingga kini tak berjawab yang terkait dua hidangan yaitu Selat Solo dan Stoop Makaroni.
Dari nama dan tampilannya, dua macam hidangan ini bisa kita duga kuat merupakan hidangan dengan pengaruh gastronomi Eropa tepatnya Belanda yang sangat kuat.
Apakah kedua misteri itu dan mengapa tak terjawab hingga kini?
Selat Solo boleh jadi adalah hasil fusi antara stik atau steak orang Belanda dengan selera orang Solo.Â
Stik atau steak yang di budaya barat pada umumnya berwujud potongan daging yang dipanggang di atas api atau yang digoreng di wajan yang kemudian dihidangkan kering atau dengan saus. Dalam bahasa Belanda sendiri beefsteak atau stik daging sapi disebut biefstuk, yang artinya potongan daging sapi dari mana kata bistik berawal.
Selat Solo jelas bukan bistik per se dalam definisi barat karena wujudnya yang sangat berkuah. Selat Solo secara prinsip adalah potongan daging sapi yang dimasak atau terendam dalam kuah kaldu dengan bumbu lada, garam, bawang putih dan cuka. Kuah coklatnya didapat dari perkawinan antara saus Worchester dan... kecap manis!
Jadi jelas bahwa, secara fisik bisa dibilang bahwa selat Solo adalah kombinasi bistik, sup, dan semur.Â
Belum selesai sampai di situ di atas hidangan chimera antara bistik, sup dan semur itu umumnya dibubuhi rebusan sayur yaitu potongan buncis, wortel, daun selada, lalu telur rebus dan mayonaise. Jadi lengkapnya selat Solo adalah bricolage atau hibrida antara bistik, semur, sup dan selada!
Nah misteri terletak pada penamaan: mengapa disebut selat alias selada? Mengapa tidak disebut bistik Solo atau semur Solo, padahal hidangan ini bahan utamanya adalah daging?
Kita bisa membuat suatu dugaan bahwa selat Solo adalah buah kreatifitas para staf dapur istana atau keraton Solo yang pada masa kolonial pastinya kadang kala mengadakan jamuan makan malam bergaya Belanda.
Di hari berikutnya saat sisa jamuan masih banyak tersisa, seperti biefstuk atau bistik, daging smoren atau semur, dan selada termasuk sayur mayur, para staf dapur tersebut mencampurnya menjadi hidangan baru menjadi selat Solo yang kita kenal hari ini!
Kebiasaan membuat hidangan baru dari sisa jamian hari sebelumnya bukanlah hal buruk. Menurut catatan ini adalah hal yang biasa dilakukan oleh staf dapur istana di manapun di dunia untuk tidak membuang makanan yang masih bagus untuk mereka nikmati atau santap sendiri.
Di Perancis, misalnya ada tradisi yang disebut pain perdu (Pichon & Vicaire, 1892), yaitu mengolah roti yang tersisa dari jamuan sebelumnya menjadi hidangan baru. Hal yang sama juga konon menjadi asal usul hidangan capcay yang menurut Aji Bromokusumo, ahli kuliner peranakan merupakan hasil pencampuran hidangan-hidangan yang tersisa (Tribun, 2019).
Karena merupakan makanan yang berasal dari hidangan sisa, bisa kita duga juga bahwa porsi daging di selat Solo hanya sedikit saja, tidak sebanyak bistik atau semur. Saat proporsi daging lebih sedikit dibanding sayuran yaitu wortel, buncis dan daun selada maka disebut selat atau selada Solo.
Apakah benar demikian?Â
Biarlah dugaan tetap jadi dugaan. Biarlah kita pakai dalil non-akademis: dugaan akan benar sampai terbukti salah. Mari kita biarkan misteri selat Solo ini tetap kekal selamanya.
Akhirnya, misteri kedua terkait hidangan stoop makaroni.
Prinsipnya stoop makaroni adalah sup yang berisi makaroni dan suwiran daging ayam. Kuah kaldunya berwarna putih krim kekuningan karena perpaduan susu UHT dan kuning telur. Rasanya sungguh sedap karena merupakan kombinasi kuah kaldu ayam, rajangan bawang bombai yang digongseng, mentega dan bumbu dasar sup seperti lada, garam dan pala.
Dari mana asal usul kata stoop?
Kata stoop sendiri tidak ada artinya dalam bahasa Belanda.Â
Varian dari nama masakan ini yang saya cukup sering dengar adalah stup makaroni. Tapi kata stup juga tidak ada dalam kosa kata bahasa Belanda. Yang ada adalah kata stoep (dibaca stup), yang artinya adalah bahu jalan atau trotoar. Dengan demikian tidak mungkin stoop berasal dari kata stoep.
Yang agak mendekati kata stoop adalah kata stoof (kata dasar: stoven) atau lengkapnya stoofpot atau gestoofde yang secara kasar adalah suatu teknik memasak atau merebus bahan makanan dalam air atau kuah kaldu, dengan api kecil atau sedang dalam waktu lama.Â
Contoh hidangan Indonesia dengan teknik stoofpot atau stew dalam bahasa Inggris adalah rendang, semur, gulai. Yang jelas bahan-bahan seperti daging atau ikan terendam dalam saus atau kuah yang cenderung kental.
Hal ini tetap membingungkan, karena dua hal.
Pertama, stoop makaroni yang berbahan dasar makaroni, tidak mungkin dimasak berlama-lama. Memasak makaroni terlalu lama jelas akan membuat makaroni menjadi lembek atau lidreg dalam bahasa Jawa.
Kedua, kuah dari stoop makaroni sendiri, walau tidak berwarna bening, cenderung encer.
Dua hal itu pantas membuat kita mempertanyakan jika kata stoop memang berasal dari kata stoofpot.
Akhirnya, bagaimana asal usul kata stoop, seperti bagaimana selat Solo dinamakan selat, biarlah itu hanya nenek moyang kita di kota Solo yang tahu.Â
Tugas kita sebagai manusia jaman kiwari ini mungkin hanya melestarikan warisan tak berwujud ini dan mengerti sedikit sejarahnya.
Terkait warisan kuliner tentu kewajiban kita adalah masak dan... makan!
Selamat makan, smakelijk eten, monggo sak kecak aken!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H