Siapa para babu atau ditulis baboe itu sebenarnya?
Dari sudut pandang penutur bahasa Indonesia, istilah babu dikenal sangat akrab dengan konotasi yang berbau diskriminasi. VOI (2020) misalnya, menyimpulkan bahwa banyak orang yang menyakini istilah ‘babu’ mengandung unsur antikemanusiaan yang berat. ‘Babu’ dikenal luas sebagai istilah yang merendahkan dan diskriminatif, sehingga layak disingkirkan dari tutur kata orang beradab.  Dalam sebuah artikel di Tempo, Hairus Salim (2013) menyebutnya ada kesan feodalistik dan diskriminatif dalam penggunaan kata ini. Wajar jika jongos dan babu, walau pun kata yang resmi dalam kamus, namun nada diskriminatifnya masih sangat terasa—bahkan sekalipun kata-kata ini dilepaskan dari konteksnya.
Babu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (KBBI) terdefinisi sebagai perempuan yang bekerja sebagai pembantu (pelayan) di rumah tangga orang; pembantu rumah tangga.Â
Lalu bagaimana orang Belanda memahami kata baboe pada jaman penjajahan?
Menurut Beelen dan van der Sijs (1997), kata baboe yang pertama kali terdokumentasi pada pertengahan abad ke-19 merupakan serapan dari bahasa Jawa dan Melayu yang berarti penjaga (oppasster) atau perempuan pengasuh (kindermeid). Menurut Beelens dan van der Sijs (1997), dalam bahasa aslinya yaitu Jawa dan Melayu, kata babu berarti perawat atau perawat anak, baik ibu sendiri atau wanita lain yang melakukan tugas itu.Â
Buku Max Havelaar karya Edouard Douwes Dekker alias Multatuli (1860) menggambarkan bagaimana baboe di Hindia Belanda yang umumnya adalah perempuan tua berpenampilan nyaris selalu sama. Dikisahkan di roman itu, bahwa baboe yang bekerja untuk Nyonya Max Havelaar sebenarnya tidak memiliki banyak pekerjaan karena Ny Max Havelaar adalah seorang perempuan yang mampu merawat anaknya sendiri dengan sempurna dan nyaris tidak membutuhkan bantuan orang lain.
Dalam Inleiding in het Maleisch (1918) karya Meulen dan Siebelhoff, istilah baboe mengalami perluasan makna atau generalisasi. Dalam kamus bahasa Melayu sederhana untuk penutur bahasa Belanda tersebut, istilah baboe tidak hanya terbatas pada orang yang bekerja mengasuh atau merawat anak. Berdasarkan tipe kerjanya, ada ‘baboe dalam’ atau kamermeisje yang bertugas membersihkan dan merapikan rumah, ‘baboe tjoetji’ yang bertugas mencuci. Namun menurut kamus tersebut, tugas baboe yang paling utama adalah mengasuh anak yaitu ‘baboe anak’ atau ‘baboe tètèk’.
Yang sangat menarik, menurut de Vries (2019), kata baboe sama sekali bukan kata asli dari bahasa Melayu maupun bahasa Jawa melainkan kata rekaan buatan para penjajah Belanda di Nusantara. Di filem karya produser Sandra Bereends (2019) yang berjudul "Ze noemen me Baboe" (Mereka memanggilku babu), kata babu berasal dari kata ba dari bahasa Jawa "mbak" atau kakak perempuan dan bu dari kata ibu. "Mbak Ibu" atau kakak perempuan atau mbak yang berperan sebagai ibu.
Jelas bahwa kata baboe (babu) pada awalnya hanya mengacu pada para perempuan yang tugasnya mengasuh anak, seperti zuster atau babysitter pada jaman sekarang.
Mungkin karena pekerjaannya yang terbatas mengurus anak, maka para babu jaman kolonial juga menjadi dekat dengan para nyonya Belanda. Selain mengurus anak, babu juga seakan menjadi teman para mevrouwen itu terutama di saat-saat sang suami pergi bekerja.Â
Koran, Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 25 Juli 1925Â misalnya menyebutkan peran baboe (babu) dalam pendidikan politik para perempuan Belanda. Â Di koran itu diberitakan bahwa perempuan pribumi di Hindia Belanda saat itu telah memperoleh hak untuk memilih para wakil yang akan memilih dewan karesidenan, dan oleh karenanya para perempuan pribumi sebenarnya memiliki hak pilih di tingkat kabupaten atau karesidenan walau secara tidak langsung.Â