Kalau sebutan "kota hantu' disematkan pada Naypyidaw karena kepadatannya yang rendah, maka sebutan itu juga berlaku untuk Balikpapan, Tanjung Selor, Palangka Raya dan kota-kota lain di Indonesia yang kepadatannya 130 jiwa per km² atau kurang.
Yang sering menghembuskan istilah "kota hantu" atau ghost town atau ghost city adalah media barat seperti the Independent (2017) atau the Guardian (2015).Â
Mereka, media barat itu mendefinisikan Naypyidaw "kota hantu" sebagai kota dengan infrastruktur monumental dengan penduduk atau lalu lintas yang sangat sedikit.
Soal infrastruktur monumental dengan jumlah pengguna yang kecil memang membuat kesan seram atau eerie.Â
Jalan-jalan utama kota yang minimum berlajur 4 seperti di foto-foto di artikel ini memang sepi pengguna. Bahkan ada jalan utama dengan 20 lajur yang tidak tentu dilewati 1 mobil per menitnya.
Tapi apakah sebutan kota hantu adalah sebuah penilaian yang obyektif? Jelas tidak.
Kita bisa dengan mudah melihat semacam propaganda barat untuk mengolok-olok rejim militer Myanmar yang memang punya reputasi yang buruk dalam soal hak asasi manusia (HAM).
Propaganda yang justru dengan mudah dilahap para komentator politik negeri kita yang lalu dilepehkan pada para folowers-nya yang pada saat yang sama juga mengritisi standar ganda Barat dalam serbuan Rusia ke Ukraina.
Kalau mau objektif, cukuplah dikatakan bahwa Naypyidaw adalah kota yang sangat sepi, sangat sunyi.