Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[RTC] Rokok Kretek Sang Werkudara

8 November 2021   08:32 Diperbarui: 9 November 2021   13:29 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kota St Aignan, Perancis - dokumen pribadi

"Voila, son sanctuaire indonesien! Depuis qu'il s'en allee, je n'ai pas encore le temps pour l'arranger et nettoyer" 

Begitu seru Christine sambil membuka pintu ruangan 'atelier' atau bengkel melukis milik almarhum suaminya yang disebutnya sebagai tempat sanctuaire indonesien alias tempat pemujaan atau kuil Indonesia. Sejak suaminya wafat belum sempat Christine merapihkan dan membersikan ruangan itu.

Selama 20 tahun mengenal Prof Marwoto sang perokok kretek berat, belum pernah sekalipun aku menginjakkan kaki di atelier tersebut. Bukan hanya aku sendiri, tapi juga semua orang lain. Hanya Prof. Marwoto dan istrinya, Christine yang punya akses ke kuil Indonesia tersebut. 

Bau rokok kretek sangat pekat dan kental tercium di dalam ruangan yang gelap, dingin tapi udaranya terasa sangat kering itu. 

Christine alias Madame Marwoto, perempuan Perancis yang usianya kutebak sekitar 70an itu beringsut perlahan membuka volet atau penutup kayu dari ke empat jendela di ruangan berukuran sekitar 9 kali 6 meter itu satu persatu.  

Cahaya matahari siang dan udara segar menyerebak masuk, sedikit mengusir bau kretek.

Aku hanya dapat menahan nafas saat melihat betapa atelier pribadi tempat Prof. Marwoto melukis di pedesaan di tengah-tengah Perancis itu terasa begitu bernuansa Indonesia.

Hampir tidak ada dinding yang kosong, jika bukan lukisan wayang pastilah wayang kulit yang tergantung.

Sepanjang sisi kiri ada meja kayu panjang merapat tembok. Permukaan meja itu cemong-cemong penuh bekas cat minyak berwarna-warni. Di atasnya ada tumpukan kertas-kertas, kuas-kuas, botol-botol yang entah berisi minyak atau air, maupun lap-lap semacam gombal yang tidak lagi bersih. Ada sekitar 3 atau 4 asbak yang masih berisi puntung di sana-sini di atas meja.

Di sudut kiri ada onggokan statip atau standar kayu yang terlipat juga tumpukan-tumpukan kanvas kosong, sementara di sudut kanan ada rak kayu tinggi yang isinya penuh dengan botol-botol, kotak-kotak cat dan kuas. Di satu lantai rak terdapat seperangkat tape dek. Ada berjejer kaset dan CD berisi rekaman gendhing Jawa. 

Di sisi lantai sebelah kanan, di bawah jendela ada lukisan-lukisan cat minyak yang disandarkan berdiri ke dinding. Semua lukisan itu hanya bertema satu: tokoh-tokoh pewayangan.

Di tengah ruangan, ditopang dua standar ada satu kanvas besar yang mungkin berukuran 2x1 meter yang belum selesai. Aku tidak paham siapa tokoh pewayangan yang belum selesai digarap itu. Walau badannya belum selelai dilukis, tapi wajah tokoh wayang itu sudah cukup jelas, sementara matanya begitu tajam menyorotkan sinarnya.

Christine seperti memahami pikiranku. "Il ne l'a pas encore fini. C'est Werkudoro", jelasnya.

Suaminya, Prof Marwoto, belum menyelesaikan lukisan itu saat ia meninggal 4 hari yang lalu. Lukisan yang belum selesai itu lukisan Werkudoro, Werkudara, alias Bima.

---

Malam itu di kamar loteng rumah keluarga Marwoto, pikiranku melayang kembali ke pertemuanku pertama kali dengan Prof Marwoto, dua puluh tahun yang lalu, 2001.

Adalah bau rokok kreteknya yang membuatku memberanikan diri menebak bahwa, laki-laki berkaca-mata tebal dengan rambut putih abu-abu sebahu itu adalah orang Indonesia. Aku ingat, ia berdiri asyik merokok di parkiran, saat jeda sebuah seminar tentang pembangkit tenaga nuklir yang kuhadiri di Grenoble, Perancis. 

Saat itu, kuangsurkan tanganku mengajaknya bersalaman sambil kuperkenalkan diri sebagai mahasiswa tahun pertama program doktorat enerji nuklir di Universitas Bordeaux.  Ia tidak menyambut uluran tanganku, namun dengan hangat malah menepuk-nepuk lengan tanganku sambil terkekeh memerkenalkan dirinya dan menawarkan kreteknya:

"Saya Marwoto Mas, pensiunan saja, hobby melukis tokoh-tokoh wayang. Rokok mas?" 

Di balik frasa "pensiunan saja", ternyata tersimpan sejuta prestasi hebat luar biasa yang nyaris tak ada hubungannya dengan kegemarannya melukis wayang.

Di sesi berikutnya, ternyata beliaulah pembicara utama. 

Marwoto adalah seorang profesor emeritus yang lama mengajar fisika nuklir sebuah perguruan tinggi negeri di Perancis. Ia juga lama tercatat sebagai peneliti sebuah laboratorium CNRS (LIPI-nya Perancis) di bidang fisika nuklir dan partikel.

Tak kusangka hubunganku selanjutnya begitu dekat dengan Prof Marwoto dan keluarganya. Berulang kali aku diundang ke rumahnya di kampung kecil St Aignan di tengah-tengah Perancis. Sejak aku masih membujang hingga kini berkeluarga di Perancis selama 20 tahun lamanya, tak terhitung berapa kali aku, dan juga anak istriku, menghabiskan waktu kami makan malam dan menginap di kediaman keluarga itu.

Dari beberapa kali pertemuan, aku menjadi paham akan kisah hidupnya.

Ia adalah salah satu dari ribuan anak muda berotak cemerlang yang mendapatkan beasiswa dan diberangkatkan oleh Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Republik Indonesia ke Uni Soviet untuk belajar di awal tahun 1960-an. Ribuan anak muda yang berangkat siap berjibaku melawan udara dingin dan rasa sepi, yang bermimpi suatu hari akan kembali bagi ibu pertiwi untuk mengabdi.

Pecahnya peristiwa tahun 1965 yang disusul dengan lahirnya pemerintah rejim Orde Baru membuat ribuan anak muda tadi kehilangan kewarganegaraan, termasuk Marwoto muda. Pulang ke Indonesia bukanlah pilihan, karena itu berarti penjara atau malah hukuman mati. Anak-anak muda yang pandai tadi dianggap berafiliasi dengan ideologi komunis oleh rejim Orde Baru. 

Tanpa beasiswa sambil kerja serabutan, dengan susah payah  Marwoto muda menyelesaikan studinya hingga doktor. Selama tahun 60an dan awal 70an Doktor Marwoto bekerja sebagai peneliti di berbagai perguruan tinggi di Uni Sovyet sebelum pindah bekerja dan menetap di Perancis pada tahun 1975 di mana ia menikahi Christine yang menemaninya hingga ia meninggal 4 hari yang lalu untuk kemudian dikremasi.

Tidak terhitung berapa kali Prof Marwoto berusaha untuk bisa kembali ke Indonesia selama ia masih aktif bekerja. Di balik kehangatannya, kuingat bagaimana matanya selalu seakan menatap begitu jauh, saat kami berbincang-bincang tentang situasi di Indonesia.

---

Pagi itu sebelum kembali ke Paris aku minta ijin pada Christine Marwoto, untuk sekali lagi mengunjungi atelier melukis, kuil Indonesia, tempat pemujaan sang Profesor yang sudah pergi.

Kubuka jendela satu persatu lebar-lebar. Bau kretek masih kental terus melekat di udara seakan tak akan pergi diusir angin topan sekalipun.

Kupandang berkeliling. Ada rasa damai di ruangan itu. Hening dan damai seperti di sebuah kuil, musholla, atau kapel, sementara bau kretek terasa seperti wangi dupa, kemenyan atau wierook.

Tapi yang lebih kuat, ada rasa rindu yang tak terperikan, rasa nglanggut yang sangat mendalam. Sementara mata lukisan sang Werkudara, sang Bima, yang badannya belum jadi tampak tajam menatapku.

Di atas meja panjang, kulihat ada satu bungkus rokok kretek dengan satu batangnya yang tersisa yang sedikit tersembul. 

Kuambil rokok yang sebatang itu dan kubaui. 

Belum apek.

"Maaf, nyuwun sewu nggih Prof, bagi satu ya kreteknya," kataku pada sang Bima sambil perlahan kuselipkan rokok di mulutku dan kunyalakan korek.

-selesai/fin-

* Kisah ini sepenuhnya fiksi, walaupun diinspirasi oleh kehidupan beberapa orang yang benar-benar ada.

**karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Rumah Pena Inspirasi Sahabat untuk memperingati Hari Pahlawan tahun 2021

 

Dok RTC
Dok RTC

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun