"Voila, son sanctuaire indonesien! Depuis qu'il s'en allee, je n'ai pas encore le temps pour l'arranger et nettoyer"Â
Begitu seru Christine sambil membuka pintu ruangan 'atelier' atau bengkel melukis milik almarhum suaminya yang disebutnya sebagai tempat sanctuaire indonesien alias tempat pemujaan atau kuil Indonesia. Sejak suaminya wafat belum sempat Christine merapihkan dan membersikan ruangan itu.
Selama 20 tahun mengenal Prof Marwoto sang perokok kretek berat, belum pernah sekalipun aku menginjakkan kaki di atelier tersebut. Bukan hanya aku sendiri, tapi juga semua orang lain. Hanya Prof. Marwoto dan istrinya, Christine yang punya akses ke kuil Indonesia tersebut.Â
Bau rokok kretek sangat pekat dan kental tercium di dalam ruangan yang gelap, dingin tapi udaranya terasa sangat kering itu.Â
Christine alias Madame Marwoto, perempuan Perancis yang usianya kutebak sekitar 70an itu beringsut perlahan membuka volet atau penutup kayu dari ke empat jendela di ruangan berukuran sekitar 9 kali 6 meter itu satu persatu. Â
Cahaya matahari siang dan udara segar menyerebak masuk, sedikit mengusir bau kretek.
Aku hanya dapat menahan nafas saat melihat betapa atelier pribadi tempat Prof. Marwoto melukis di pedesaan di tengah-tengah Perancis itu terasa begitu bernuansa Indonesia.
Hampir tidak ada dinding yang kosong, jika bukan lukisan wayang pastilah wayang kulit yang tergantung.
Sepanjang sisi kiri ada meja kayu panjang merapat tembok. Permukaan meja itu cemong-cemong penuh bekas cat minyak berwarna-warni. Di atasnya ada tumpukan kertas-kertas, kuas-kuas, botol-botol yang entah berisi minyak atau air, maupun lap-lap semacam gombal yang tidak lagi bersih. Ada sekitar 3 atau 4 asbak yang masih berisi puntung di sana-sini di atas meja.
Di sudut kiri ada onggokan statip atau standar kayu yang terlipat juga tumpukan-tumpukan kanvas kosong, sementara di sudut kanan ada rak kayu tinggi yang isinya penuh dengan botol-botol, kotak-kotak cat dan kuas. Di satu lantai rak terdapat seperangkat tape dek. Ada berjejer kaset dan CD berisi rekaman gendhing Jawa.Â