Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Herd Immunity? Pak Luhut, Semoga Kita Tak Mimpi!

6 Juli 2021   06:07 Diperbarui: 6 Juli 2021   11:24 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi vaksinasi covid-19. (ANTARA FOTO/FAUZAN via KOMPAS.com)

Seperti diberitakan CNBCIndonesia 5 Juli 2021, Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Panjaitan menargetkan mencapai herd immunity atau kekebalan komunal atas COVID-19 bagi warga DKI Jakarta dan Bali pada Agustus 2021 lewat penggencaran program vaksinasi.

Mendengar ini, tentu kita semua, terutama yang berada di Jawa dan Bali bisa mulai bernafas lega. Sinar dari ujung terowongan masa pandemi yang gelap seperti sudah terlihat di depan mata. 

Benarkah demikian?

Minimum ada tiga alasan agar kita sebaiknya berhati-hati dengan gagasan herd immunity yang cepat tercapai lewat vaksinasi.

Pertama, vaksinasi sudah terbukti tidak sepenuhnya menyetop penularan virus COVID-19. 

Sudah bukan rahasia lagi bahwa teman-teman atau orang yang kita kenal sudah menerima dua dosis vaksin ternyata tetap dapat terinfeksi virus COVID-19 dan bahwa terjadi penularan yang dilakukan oleh mereka yang sudah lengkap tervaksinasi.

Yang paling fenomenal adalah berita atau fakta yang dilansir oleh media-media luar negeri bahwa 300-an tenaga kesehatan di Kudus, Jawa Tengah yang sempar terpapar COVID-19 walau mereka telah tervaksinasi secara lengkap (Detik, 18 Juni 2021).

Di Nature, 21-3-2021, Swheta Bansal menyatakan bahwa ide herd immunity hanya relevan pada vaksin yang vaksinasi yang mampu menghentikan penularan. 

Ahli biologi-matematika Universitas Georgetown itu menyatakan juga bahwa herd immunity pada vaksinasi dengan efektifitas yang tidak tinggi dalam penghentian penularan hanya akan dapat diperoleh saat persentase masyarakat yang tervaksinasi mencapai angka yang sangat tinggi.  

Laporan BBC, 12 Juni 2021, memperkirakan bahwa dalam situasi tanpa prokes dan tanpa vaksinasi, seseorang yang terinfeksi varian alpha akan menularkan virusnya pada 4 sampai 5 orang lainnya sementara varian delta 5 sampai 8 orang lainnya. 

Memakai rumus yang dipakai Gannet (2005), penulis dapat menghitung bahwa persentase masyarakat yang harus divaksinasi untuk menghambat penularan varian alpha adalah antara 75% sampai 80%, sementara untuk varian delta adalah antara 80% sampai 87,5%. 

Persentase yang didapat di atas mengasumsikan bahwa vaksinasi COVID-19 efektif menghambat penularan. Jika efektifitas tersebut tidak setinggi yang diasumsikan, maka bisa kita perkirakan bahwa persentase masyarakat yang harus divaksinasi untuk dapat menghentikan penularan varian delta adalah di atas 87,5% (!).

Kedua, Jawa dan Bali bukan dua pulau yang terisolasi

Pulau Bali dan Jawa saat ini tercatat sebagai dua pulau dengan persentase vaksinasi COVID-19 tertinggi di Indonesia. Dalam wacana Menko Marves, di dua pulau inilah beliau menargetkan mencapai herd-immunity dalam dua bulan ke depan. 

Jika herd immunity dapat tercapai di kedua pulau terpadat di nusantara itu, kita harus memperhitungkan juga bahwa pergerakan antar pulau di Indonesia maupun pergerakan internasional tidak sepenuhnya dapat dikontrol dengan kebijakan sertifikat vaksin atau hasil test COVID-19 yang negatif. Masyarakat yang tidak tervaksinasi di Jawa dan Bali tetap rentan penularan yang mungkin dibawa dari luar. 

Melihat terbukanya arus mobilitas nasional maupun internasional, kita dapat memahami bahwa pencapaian herd-immunity di Jawa dan Bali, jika tercapai, nantinya tentu merupakan suatu titik pencapaian yang dinamis, bisa berubah hingga harus dipertahankan. Minimal vaksinasi di propinsi-propinsi di luar kedua pulau itu dan pengontrolan arus pergerakan manusia terkait COVID-19 harus terus berjalan dengan intensitas tinggi.

Ketiga, gembar-gembor herd immunity dan bumerang penumpang gratis (free riders)

Penumpang gratis alias free riders adalah suatu fenomena yang terjadi di seluruh dunia dalam kasus vaksinasi. Para penumpang gratis adalah orang-orang yang menolak mendapat vaksinasi namun pada suatu saat akan ikut menikmati bebasnya komunitas dari pandemi karena telah terjadi herd immunity.

Terlalu banyak mengembar-gemborkan akan atau telah terjadi pencapaian herd immunity bisa menimbulkan efek bumerang. Mereka yang menolak vaksinasi akan merasa bahwa tanpa mereka mendapat vaksinasi pun mereka tak akan pernah tertular. 

Efek bumerang akan terjadi saat orang yang berpikiran sama akan bertambah banyak. Pada akhirnya hal ini justru akan menimbulkan resistensi terhadap program vaksinasi itu sendiri.

Penumpang gratis tidak hanya terkait penolakan atas vaksinasi. Masyarakat dan aparat pemerintah yang abai dengan segala strategi prokes melawan pandemi juga masuk dalam kategori penumpang gratis. 

Mereka yang enggan menggunakan masker, mereka yang nyantai kumpul-kumpul ngeriung, menghadiri pernikahan pemengaruh medsos yang tersohor seantero jagad, mengadakan Rakor dan Kunker yang mengumpulkan massa di kala pandemi maupun memberlakukan WFO padahal bukan di sektor esensial jelas adalah free rider, penumpang gratis.

Gembar-gembor bahwa herd immunity akan atau hampir tercapai dengan vaksinasi tentu akan menambah jumlah orang yang abai akan segala strategi prokes, yang jelas-jelas berpotensi menaikan kembali angka penularan.

Akhirnya, vaksinasi memang senjata pamungkas kita memerangi pandemi COVID-19. Namun demikian ada baiknya kalau kita tidak bermimpi bahwa vaksinasi yang gencar akan otomatis mengikis pandemi begitu saja lewat terciptanya herd immunity dalam waktu dekat.

Daya tular (contagiousness) virus COVID-19 yang sangat kuat jelas menuntut penerapan prokes dan pembatasan mobilitas dalam masa yang masih akan sangat panjang. Dengan kata lain, pandemi kali ini memang menuntut suatu perubahan permanen dalam cara berpikir dan sikap dalam menjalani hidup sehari-hari.

Tanpa adanya perubahan permanen itu yang akan terjadi hanyalah panic-and-forget. Panik dan lupa, yaitu saat segala kepanikan dan penderitaan kita yang sudah berlangsung setahun lebih ini hanya akan kita lupakan begitu saja. Pandemi berikut akan datang dan kita hadapi dengan kepanikan yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun