Mohon tunggu...
Jepe Jepe
Jepe Jepe Mohon Tunggu... Teknisi - kothak kathik gathuk

Males nulis panjang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kelam

28 Juni 2021   16:02 Diperbarui: 28 Juni 2021   16:22 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
L'ivrogne (pemabuk) - Kurt Peiser (art.com)

Kepalaku sungguh terasa berat.

Yang kutahu hanya adik perempuanku dan suaminya yang menopangku berjalan tertatih-tatih. Masing-masing memanggul tanganku, yang kiri dan yang kanan.

Kepalaku sungguh terasa berat. Demikian pula kedua tungkaiku yang tak bisa kugerakan. Hanya kedua orang itu, adik perempuanku dan suaminya yang memanggulku setengah menyeret untuk bergerak menjauh dari warung minum itu.

Aku tak tahu berapa lama kami bertiga bergerak beringsut perlahan. 

Mereka tak mengelurkan sepatah katapun sambil terus menopang dan menyeret tubuhku yang berat. Gang demi gang sampai akhirnya sampai di rumah adikku dan suaminya. Yang kudengar hanya bunyi hembusan nafas mereka kepayahan.

Kepalaku masih terasa begitu berat dan tubuhku terasa sangat kaku sementara nafasku pendek-pendek, saat sang suami adikku membuka pintu pagar depan, lalu pintu masuk ke rumah mereka yang kecil.

Di dalam, sang suami langsung merebahkanku di kursi panjang di ruang tamu di depan teve yang masih menyala tanpa suara. Sedikit lega rasanya saat kepalaku menyentuh alas anyaman rotan bangku itu.

Tengkukku terasa sangat kaku. Mataku kupejamkan agar pening di kepalaku sedikit mereda.

Tak ingat lagi berapa lama tadi kuhabiskan waktu senjaku di warung. Entahlah berapa gelas arak yang tadi kutenggak. Hanya kuingat, gelas-gelas belimbing itu begitu berkilat. Isinya begitu wangi lezat, membuat semua kenangan kelamku asat.

Ah.. siapa yang memainkan jariku?

Berat sekali kubuka kelopak mataku.

Kupicingkan mataku, berdiri si bocah keponakanku di hadapanku. Anak adikku dan suaminya itu hanya berkaos singlet, sementara tangannya memeluk tablet.

Adikku memanggilnya dari balik kamar, "Gus, cepat tidur sini jangan nganggu Pakdemu!"

Bocah empat tahun itu tersenyum terkekeh.

Ia tak pernah takut padaku. Saat ku waras atau saat ku mabuk minuman keras.

Saat wajahku begitu kusam jauh dari kewarasan dan perangaiku menjadi mengerikan. Anak laki-laki itu tak pernah takut padaku.

Kupicingkan mataku yang berat agar kepalaku tak makin pening melihatnya.

Ia menyalakan tablet kepunyaan bapaknya.

Jari-jari kecil itu menggeser-geser foto-foto di layar tablet seperti yang selalu ia lakukan saat ku datang ke rumah adikku. Kali ini jarinya berhenti pada suatu video yang lalu ia nyalakan.

Muncul suatu suara denting gitar dari video itu sementara nyeri di kepalaku bertambah hebat.

Bocah itu terkekeh sambil menunjuk-nunjuk tabletnya:
di layar ada sepasang pengantin berpakain Jawa berdiri di depan altar. Di samping mereka ada seseorang berhem putih berwajah segar, tersenyum, bernyanyi dan bermain gitar.

Ya, si hem putih yang bernyanyi dengan gitar itu aku. Bermain gitar dan menyanyi 5 tahun yang lalu, di pernikahan di gereja adikku dan suaminya.

Kutangkap tangan bocah itu, ia terkekeh saja melihatku.

Dadaku tiba-tiba menjadi begitu sesak. Ulu hatiku terasa begitu nyeri.

Ada sesuatu yang menggemuruh menggelegak saat dari tabletnya kudengar denting gitar dan bening suaraku sendiri 5 tahun yang lalu:

Ave maria        (Salam ya Maria)
Gratia plena    (Penuh rahmat)
Dominus tecum (Allah bersertamu)
Benedicta tu!    (terpujilah engkau!)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun